Selasa, 27 September 2016

Hukum Internasional


A.    Pengertian Hukum Internasional
1.      Pengertian Hukum Internasional Menurut Para Ahli
a.       J.G. Starke
Mengutip Charles Cheney Hyde, Starke dalam bukunya yang berjudul Introduction to International Law mendefinisikan hukum internasional sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain  dan yang meliputi juga:
-          kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu; dan
-          kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional (Starke, 2008).

b.      Boer Mauna
Boer Mauna mendefinisikan hukum internasional sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional (Mauna, 2015).

c.       Sugeng Istanto
Menurut Sugeng Istanto, hukum internasional adalah kumpulan ketentuan hukum yang berlakunya dipertahankan oleh masyarakat internasional. Sebagai ketentuan hukum, hukum internasional merupakan bagian dari hukum. Sebagai bagian dari hukum, hukum internasional memenuhi unsur-unsur yang menetapkan pengertian hukum, yakni kumpulan ketentuan yang mengatur tingkah laku orang dalam masyarakat yang berlakunya dipertahankan oleh external power masyarakat yang bersangkutan (Istanto, 1998).

d.      Fadillah Agus
Hukum internasional menurut Fadillah Agus adalah serangkaian ketentuan yang mengatur tentang hubungan-hubungan antarnegara, antara negara dengan subjek hukum internasional lainnyaatau antara subjek hukum internasional selain negara yang satu dengan yang lainnya (Agus, 2007).

e.       Brierly
Definisi hukum internasional menurut Brierly dalam bukunya The Law of Nations yaitu seperangkat aturan atau prinsip-prinsip dalam bertindak yang mengikat negara-negara beradab dalam hubungan mereka satu sama lain (Brierly, 1955).

f.       Lassa Oppenheim
Lassa Oppenheim mengartikan hukum internasional sebagai seperangkat peraturan umum dan adat kebiasaan yang dianggap mengikat secara hukum oleh negara-negara beradab dalam hubungan mereka satu sama lain (Oppenheim, 1955).

g.      Mochtar Kusumaatmadja
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa definisi hukum internasional mengacu pada hukum internasional publik, yang mana harus dibedakan dengan hukum perdata internasional. Menurutnya hukum internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara:
(1)               Negara dengan negara;
(2)               Negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain (Kusumaatmadja & Agoes, 2013).

2.      Istilah-istilah Hukum Internasional
Istilah yang seringkali digunakan dan dianggap paling cocok untuk menggambarkan hukum internasional seperti yang disetujui oleh para ahli adalah International Law. Meskipun begitu d isamping Internasional Law, ada beberapa istilah lain yang juga sering digunakan untuk menunjukkan hukum internasional, yaitu Inter-state Law, Law of Nations, dan World Law.

Istilah Law of Nations atau hukum bangsa-bangsa berasal dari istilah hukum Romawi ius gentium. Dalam arti yang semula ius gentium bukanlah berarti hukum yang berlaku antara bangsa-bangsa saja, melainkan pula kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan antara hukum Romawi dengan orang bukan Romawi dan antara orang bukan Romawi satu sama lain (Curzon, 1966). Baru kemudian orang membedakan benar antara: hubungan antara individu dengan menggunakan istilah ius inter gentes. Istilah terakhir ini yang berarti hukum antar bangsa menandakan permulaan lahirnya hukum internasional (publik) sebagai suatu lapangan hukum tersendiri. Sebenarnya, istilah hukum antarbangsa sama dengan istilah hukum antarnegara atau Inter-state Law, karena berlainan dengan kerajaan dan republik pada zaman dahulu negara modern pada hakikatnya merupakan Negara kebangsaan atau nation-state (Kusumaatmadja & Agoes, 2013).

Berdasarkan hal tersebut, Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes mendiferensiasikan ketiga istilah diatas sebagai berikut:

Law of Nations atau hukum bangsa-bangsa mengacu kepada kebiasaan dan aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu, ketika hubungan demikian baik karena jarangnya maupun karena sifat hubungannya, belum dapat dikatakan merupakan hubungan antara anggota suatu masyarakat bangsa-bangsa.

Istilah hukum antarbangsa atau hukum antarnegara (Inter-state Law) mengacu kepada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara yang kita kenal sejak munculnya negara dalam bentuknya yang modern sebagai negara nasional (nation-state). Sementara International Law menunjukkan hukum internasional (publik) modern yang selain mengatur hubungan antara negara dengan negara, mengatur pula hubungan antara negara dengan subjek hukum lainnya yang bukan negara dan antara subjek hukum bukan negara satu sama lainnya. (Kusumaatmadja & Agoes, 2013).

Istilah terakhir adalah World Law (Hukum Dunia). Hampir sama dengan International Law, istilah ini menunjukkan konsep mengenai tertib hukum masyarakat dunia yang berlainan pangkal tolaknya. Pengertian hukum internasional didasarkan atas pikiran adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak di bawah kekuasaan yang lain. Dalam rangka pikiran ini tidak ada suatu badan yang berdiri di atas negara-negara, baik dalam bentuk negara dunia (world state) maupun badan supranasional yang lain. Dengan perkataan lain, hukum internasional merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota-anggota masyarakat internasional yang sederajat. Anggota masyarakat internasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang mereka terima sebagai perangkat kaidah dan asas yang mengikat dalam hubungan antarmereka. Sementara Hukum Dunia (World Law) berpangkal pada pikiran yang banyak dipengaruhi oleh hukum tata negara (constitution law). Hukum dunia merupakan semacam negara dunia yang meliputi semua negara di dunia ini (semacam negara federasi) yang berdiri di atas negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi (Kusumaatmadja & Agoes, 2013).
  
B.     Batasan Hukum Internasional
1.      Ruang Lingkup Hukum Internasional
I Wayan Pathiana dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Internasional (1990) secara rinci menjabarkan ruang lingkup hukum internasional, yaitu meliputi prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum yang:
a.       Berkenaan dengan negara atau negara-negara, seperti misalnya tentang kualifikasi suatu negara sebagai pribadi internasional, terbentuk atau terjadinya suatu negara, lenyapnya atau musnahnya suatu negara, hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara dan lain sebagainya.
b.      Prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan atau yang mengatur persoalan-persoalan mengenai hubungan antara negara dengan negara, seperti misalnya perjanjian tentang garis batas wilayah antara dua atau lebih negara, penyelenggaraan hubungan diplomatik, konsuler dan perekonomian antara negara, dan lain-lainnya.
c.       Prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi organisasi atau lembaga internasional. Sebagai contoh misalnya charter (piagam), covenant (kovenan), statute (statuta), suatu organisasi internasional, aturan prosedur (rules of procedure) atau semacam dengan hukum acara yang berlaku di dalam suatu organisasi internasional, misalnya: Rules of Procedure of the Security Council of the United Nations, Rules of Procedure of the General Assembly of the United Nations, dan lain-lain.
d.      Prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum yang mengatur persoalan-persoalan mengenai hubungan antara organisasi internasional dengan organisasi internasional, seperti misalnya: perjajian antara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dengan ASEAN dalam bidang perdagangan dan lain-lain.
e.       Prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum yang mengatur persoalan antara Negara dengan organisasi internasional, seperti misalnya perjanjian antara Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Amerika Serikat tentang tempat kedudukan kantor pusat PBB di New York, perjanjian antara ASEAN dengan Indonesia mengenai tempat kedudukan Sekretariat Jenderal ASEAN di Jakarta.
f.       Prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan individu dan subyek hukum bukan Negara, sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka itu menyangkut masalah masyarakat internasional, seperti misalnya tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia seperti yang telah dituangkan dalam berbagai konvensi dan deklarasi internasional, prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang status dan kedudukan pengungsi internasional , tentang peraturan hukum yang mengatur status dan kedudukan wilayah perwalian (trusteeship territories), organisasi-organisasi pembebasan, kelompok pembebasan, dan lain-lain.
g.      Prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum yang mengatur persoalan antara organisasi internasional dengan individu, antara organisasi internasional dengan subyek hukum bukan negara, antara negara dengan subyek hukum bukan negara maupun antara subyek hukum bukan negara satu dengan lainnya[1] (Parthiana, 1990).

2.      Hukum Internasional Publik dan Hukum Perdata Internasional
Dalam memahami hukum internasional, sangat penting untuk membedakan antara hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, hukum perdata internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Sementara hukum internasional publik ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata (Kusumaatmadja & Agoes, 2013).

Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa baik hukum internasional publik maupun hukum perdata internasional, keduanya sama-sama mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, namun objek yang diaturnya berbeda.

C.    Perwujudan Hukum Internasional
1.      Hukum Internasional Umum
Hukum internasional umum, universal, atau global adalah hukum internasional yang berlaku secara umum, universal atau global di seluruh dunia terhadap semua atau bagian terbesar subyek-subyek hukum internasional pada umumnya, dan negara-negara pada khususnya. Kaidah­-kaidah hukum internasional semacam ini, bisa berbentuk hukum kebiasaan internasional, misalnya kewajiban setiap negara menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan kesamaan (derajat sesama negara; kewajiban setiap negara untuk menghormati hak-hak asasi manusia, hak menentu­kan nasib sendiri dari bangsa-bangsa, hak dan kedaulatan setiap negara atas sumber daya alam yang terdapat di dalam wilayahnya; merupakan beberapa contoh saja dari kaidah­-kaidah hukum internasional global, universal atau umum, yang berbentuk perjanjian-perjanjian internasional, misalnya, Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS III/1982), Konvensi jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, Universal Declaration of Human Rights 1948 (Deklarasi Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia), International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik), International Covenant on Social, Cultural, and Economic Rights 1966 (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sosial, Budaya dan Ekonomi), dan lain-lain (Noor, 2012).

2.      Hukum Internasional Regional
Hukum internasional regional memiliki ruang lingkup yang terbatas, yaitu kaidahnya hanya berlaku dan berkembang dalam suatu wilayah dunia tertentu di antara negara-negara yang ada di wilayah tersebut, yang bukan merupakan kaidah dengan karakter universal, seperti misalnya apa yang lazim dinamakan hukum internasional Amerika atau hukum internasional Amerika Latin. Kaidah-kaidah dalam hukum internasional regional dapat diilistrasikan melalui kaidah khusus mengenai suaka diplomatic (diplomatic asylum). Sifat hakikat kaidah-kaidah regional ini telah dibahas oleh International Court of Justice dalam Columbian Peruvian Asylum Case (1950) yang memutuskan sebagai berikut:
a.       Kaidah-kaidah regional tidak perlu tunduk kepada kaidah hukum internasional umum tetapi mungkin saja dalam pengertian “saling mengisi” atau “saling berkaitan”; dan
b.      Suatu pengadilan internasional harus, sepanjang menyangkut negara-negara dalam wilayah khusus terkait, memberlakukan kaidah-kaidah regional tersebut sepanjang benar-benar terbukti memenuhi syarat dari pengadilan (Starke, 2008).

Adanya berbagai lembaga hukum internasional regional disebabkan oleh keadaan yang khusus terdapat di bagian dunia itu. Walaupun menyimpang, hukum internasional regional itu tidak usah bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku umum. Bahkan, adakalanya suatu lembaga atau konsep hukum yang mula-mula timbul dan tumbuh sebagai suatu konsep atau lembaga hukum regional, kemudian diterima sebagai bagian dari hukum internasional umum. Kita dapat melihat konsep landas kontinen (continental shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mula-mula timbul dan tumbuh di Benua Amerika. Dengan demikian, hukum internasional regional dapat memberikan sumbangan berharga kepada hukum internasional umum (Kusumaatmadja & Agoes, 2013).

3.      Hukum Internasional Khusus (Spesial)
Hukum internasional khusus berlaku hanya bagi negara-negara tertentu saja, misalnya konvensi Eropa mengenai Hak-Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan hukum internasional regional yang biasanya tumbuh melalui proses hukum kebiasaan, hukum internasional khusus diatur dalam konvensi multilateral yang para pesertanya tidak terbatas pada satu negara bagian (region) tertentu (Kusumaatmadja & Agoes, 2013).

4.      Hukum Komunitas
Hukum komunitas merupakan perkembangan dari kaidah-kaidah umum (termasuk hukum yang terbentuk berdasarkan keputusan hakim—judge-made law—dalam European Court of Justice) yang berlaku di dalam kerangka kerja hukum dan administrasi Masyarakat Eropa (European Communities) yang telah berkembang sedemikian rupa sejak tahun 1957. Salah satu karakteristik hukum  ini adalah penerapannya secara langsung, dalam kasus-kasus tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu, dalam system hukum nasional setiap anggota Masyarakat Eropa, untuk mana pengadilan-pengadilan nasional juga bersedia memberlakukan hukum komunitas ini yang keutamaan atau supremasinya harus diakui. Misalnya apabila kaidah atau norma komunitas tersebut jelas dan tepat, serta tidak bersyarat, tidak perlunada tindakan implementasi lebih lanjut. (Starke, 2008).












References

Agus, F. (2007). Pengantar Hukum Internasional dan Hukum Humaniter Internasional. Jakarta: ELSAM.
Brierly, J. (1955). The Law of Nations: An Introduction to The International Law of Peace. Oxford: Oxford University Press.
Curzon, L. B. (1966). Roman Law. London.
Istanto, S. (1998). Hukum Internasional. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Kusumaatmadja, M., & Agoes, E. R. (2013). Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT. Alumni.
Mauna, B. (2015). Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni.
Noor, S. M. (2012, Juni 28). Bentuk atau Perwujudan dari Hukum Internasional. Diambil kembali dari Negara Hukum: http://www.negarahukum.com/hukum/bentuk-atau-perwujudan-dari-hukum-internasional.html
Oppenheim, L. (1955). International Law, A Treaties.
Parthiana, I. W. (1990). Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Starke, J. G. (2008). Pengantar Hukum Internasional 1. Jakarta: Sinar Grafika.





[1] Patut ditegaskan disini bahwa, individu ataupun subyek hukum bukan negara barulah bias dikatakan berkedudukan sebagai subyek hukum internasional apabila memang hukum internasional secara langsung memberikan hak-hak dan membebani kewajiban-kewajiban internasional kepadanya. Dengan demikian, dalam kedudukan demikian itu, barulah bias dikatakan bahwa individu ataupun subyek hukum bukan negara itu benar-benar sebagai subyek hukum internasional. Jadi, hubungan-hubungan hukum yang diadakannya dengan sesama sebagai subyek hukum internasional lain maupun dengan sesama individu dan subyek hukum bukan negara, dapat digolongkan sebagai hubungan hukum internasional.  

Sabtu, 18 Juni 2016

Prinsip Dasar Realisme

Realisme merupakan salah satu perspektif dalam Teori Hubungan Internasional. Teori-teori realisme ini berasal dari tulisan-tulisan Thucydides, Thomas Hobbes, Niccolo Machiavelli, dan Hans J. Morgenthau yang kemudian berubah menjadi pendekatan dalam basis hubungan internasional selama Perang Dunia I dan Perang Dunia II (Gooden, 2010). Pada masa awal kemunculan hubungan internasional sebagai disiplin akademik, teori realisme telah mendominasi teori-teori politik dunia.

Ide dan asumsi dasar kaum realis adalah : 1)pandangan pesimis atas sifat manusia; 2)keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang; 3)menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara; 4)skeptisisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik (Jackson dan Sorensen, 2014: hlm.112).

Asumsi-asumsi dasar realisme tersebut dapat digambarkan melalui analogi segitiga sederhana, dengan state yang berada di puncak segitiga, sedangkan survival dan self-help menjadi kedua sudut dibawahnya. Segitiga ini menunjukkan bahwa dalam pandangan realis, Negara (state) merupakan aktor utama hubungan internasional dan aktor lainnya dianggap tidak penting. Oleh karena Negara merupakan aktor tunggal, maka hubungan internasional berbicara mengenai bagaimana supaya Negara dapat bertahan dalam persaingan global, meskipun harus mengorbankan elemen-elemennya. Cara untuk bertahan tersebut yang dianggap paling ampuh menurut realis adalah melalui self-help atau menolong diri sendiri. Hal ini didasarkan pada anggapan pesimis realis bahwa sifat manusia pada dasarnya jahat dan senang berperang, sehingga suatu Negara tidak bisa dengan mudah mempercayai Negara lainnya.

Kaum realis yakin bahwa tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan, dan penggunaan kekuasaan merupakan fokus utama aktivitas politik. Mereka juga memiliki penilaian yang tinggi pada nilai-nilai keamanan nasional, kelangsungan hidup Negara, dan stabilitas serta ketertiban nasional. Kaum realis sangat menekankan pentingnya perimbangan kekuatan dan mereka berusaha menegakkan nilai-nilai perdamaian dan keamanan. (Jackson dan Sorensen, 2014: hlm. 168-169).

Referensi:
Gooden, R. E. (2010). The Oxford Handbook of International Relations. Oxford. Oxford: Oxford University Press. 

Sorensen, G., & Jackson, R. (2014). Pengantar Studi Hubungan Internasional, Edisi Pertama, Terjemahan oleh Dadan Suryadipura. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



Realisme Defensif vs. Realisme Ofensif

Dalam memandang dinamika kekuasaan yang diterapkan pada sistem anarki, realisme struktural dapat dibedakan menjadi dua kubu. Kubu yang pertama, dipelopori oleh Kenneth Waltz, berpendapat bahwa Negara seharusnya memaksimalkan keamanan. Menurut Waltz, kekuasaan adalah cara menuju berakhirnya keamanan. Dalam sebuah paragraf yang signifikan, Waltz menulis, “karena kekuasaan merupakan alat bermanfaat yang paling memungkinkan, negarawan yang rasional akan berusaha untuk memiliki kekuasaan dalam jumlah yang tepat.” Ia menambahkan, "dalam situasi penting, bagaimanapun, perhatian utama negara-negara bukan terhadap kekuasaan, melainkan terhadap keamanan". Waltz berpendapat bahwa maksimalisasi kekuasaan sering terbukti menjadi sub-optimal karena hal itu memicu terjadinya koalisi yang tidak seimbang diantara negara-negara di dunia. Pendapat ini yang kemudian dikenal dengan realisme defensive (defensive realism(Baylis, 2013: 105).
Argumen yang berbeda diajukan oleh John Mearsheimer, melalui teorinya yang dikenal dengan realisme ofensif (offensive realism). Struktur sistem internasional memaksa negara untuk memaksimalkan posisi kekuatan relatif mereka. Di bawah anarki, ia setuju bahwa self-help adalah prinsip dasar dari tindakan negara, namun Mearsheimer berpendapat bahwa negara-negara tidak pernah bisa yakin tentang maksud dari negara-negara lain. Akibatnya, ia menyimpulkan bahwa semua negara terus mencari peluang untuk mendapatkan kekuasaan dengan mengorbankan negara-negara lain. Posisi yang ideal memang, meskipun hal yang Mearsheimer usulkan itu hampir tidak mungkin untuk diraih, yaitu untuk menjadi hegemon global sistem internasional. Namun karena hegemoni global tidak mungkin, ia menyimpulkan bahwa dunia dikutuk untuk menjadi tempat kompetisi kekuatan besar yang berlangsung secara terus-menerus (Baylis, 2013: 106).

Referensi:
Baylis, John, Steve Smith, dan Patricia Owens. 2013. The Globalization of World Politics, Sixth Edition. Oxford: Oxford University Press.

Sejarah Singkat Jepang


Jepang (Nippon-koku/Nihon-koku), yang terkenal dengan julukan ‘negara matahari terbit’ merupakan suatu negara kepulauan yang terletak di sebelah barat Samudera Pasifik, dan berbatasan dengan Korea, Tiongkok, serta Rusia.  Dikatakan negara kepulauan karena negara ini terdiri dari 6.852 pulau dengan empat pulau besar yaitu Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu (www.jnto.go.jp). Dalam total area seluas 377, 962 m2, negara ini dihuni oleh 127,220,000 populasi manusia yang tersebar ke dalam 47 perfektur, dengan Tokyo sebagai ibu kota negara (www.japan.go.jp). Agama yang dipeluk oleh masyarakat Jepang adalah Budha, Shinto, Kristen, dan Islam.
Negara yang memiliki empat iklim ini pemerintahannya berbentuk monarki konstitusional, yang saat ini berada di tangan kaisar Akihito sebagai kepala negara dan perdana menteri Shinzo Abe sebagai kepala pemerintahan .Bendera nasional Jepang bernama Nisshoki/Hinomaru, lagu kebangsaan berjudul Kimi ga Yo, dan bahasa Jepang sebagai bahasa nasional.
Jepang memiliki sejarah peradaban yang panjang. Zaman prasejarah Jepang dimulai pada periode Jomon yang berlangsung sekitar 10.000 SM ketika penduduknya hidup dengan memancing, berburu dan meramu, sedangkan budidaya padi mulai diperkenalkan pada sekitar 300 SM-300 M yang dikenal dengan periode Yayoi. Periode selanjutnya yang berlangsung pada 300 M-538 M disebut periode Kofun, diambil dari nama makam yang dibangun untuk menghormati pemimpin yang sudah meninggal. Pada periode ini, untuk pertama kalinya wilayah Jepang dipersatukan. Terdapat setidaknya tiga peristiwa besar yang terjadi pada periode selanjutnya (538 M-710 M), yaitu awal kedatangan agama Budha di Jepang, pengundang-undangan Konstitusi pangeran Shotoku, serta pengenalan reformasi Taika yang menandai dimulainya era Fujiwara. Periode ini dikenal sebagai periode Asuka.
Era selanjutnya disebut periode Nara (710 M-784 M), yang ditandai dengan setidaknya dua peristiwa besar, yaitu penetapan Nara sebagai ibu kota permanen pertama Jepang pada tahun 710 M dan pemindahan ibu kota ke Nagaoka pada tahun 784 M. Pada tahun 794 M, ibu kota Jepang dipindahkan dari Nagaoka ke Heian (Kyoto sekarang), disusul dengan beberapa peristiwa politik yang krusial seperti munculnya keluarga Fujiwara sebagai pemegang tampuk pemerintahan yang berkuasa atas nama kaisar dan pergantian secara bertahap kebudayaan China—yang mendominasi pada periode Nara—dengan kebudayaan yang bergaya lebih dekat dengan kehidupan masyarakat serta lingkungan alami mereka, menandai suatu era baru, dikenal dengan periode Heian (794 M-1185 M).
Periode berikutnya merupakan awal dari 700 tahun kekuasaan Keshogunan di Jepang—dikenal sebagai samurai—yang ditandai dengan kemenangan klan Genji dibawah pimpinan Minamoto Yoritomo, atas klan Heike. Periode ini dikenal dengan periode Kamakura (1185-1333). Rezim Kamakura kemudian runtuh dan disusul dengan berdirinya pemerintahan feodal di Muromachi. Era ini juga dipengaruhi oleh kedatanagn Portugis yang memperkenalkan senjata api dan agama Kristen di Jepang (1542). Kebangkitan hingga keruntuhan pemerintahan ini dikenal dengan era Muromichi (1334-1573).
Periode selanjutnya adalah periode Azuchi Momoyama (1573-1603). Peristiwa terkenal dari periode ini: terbunuhnya Oda Nobunaga—tokoh terkenal dari periode Muromachi—oleh Toyotomi Hideyoshi, invasi Korea ke Jepang (yang mengalami kegagalan), dan kemunculan Tokugawa Ieyashu sebagai pemegang tampuk kekuasaan Jepang. Tokugawa Ieyasu, yang mengalahkan pengikut lain dari almarhum Toyotomi Hideyoshi pada Pertempuran Sekigahara dan dengan demikian menguasai Jepang, mendirikan Keshogunan Tokugawa di Edo (sekarang Tokyo). Tokugawa memerintah Jepang selama lebih dari 260 tahun, dan selama 200 tahun pemerintahan ini menetapkan suatu kebijakan ‘pengasingan’ yang mengisolasi Jepang dari dunia luar, termasuk dalam hal perdagangan. Era ini dikenal dengan periode Edo (1603-1867).
Era baru Jepang ditandai dengan Restorasi Meiji (1868), di mana otoritas politik dipulihkan dari shogun ke kekaisaran. Kebijakan pengasingan nasional dihentikan, dan budaya Barat mulai menyerap ke setiap aspek kehidupan Jepang. Pada tahun 1872, dibuat jalur kereta api pertama yang menghubungkan Tokyo dan Yokohama. Pada tahun 1889, Konstitusi Meiji ditetapkan menjadi undang-undang. Era baru ini disebut periode Meiji (1868-1912).
Beberapa periode selanjutnya adalah era modern Jepang. Periode pertama, yang dikenal dengan periode Taisho (1912-1926) ditandai dengan bergabungnya Jepang bersama aliansi Sekutu (1914-1918) dan terjadinya peristiwa “The Great Kanto Earthquake” yang menghancurkan Tokyo dan Yokohama pada 1923. Kemudian berlangsung periode Showa (1926-1989), yang marak dengan berbagai peristiwa krusial seperti Insiden Manchuria (1931), Perang Pasifik (1941), jatuhnya bom di Hiroshima dan Nagasaki (1945), penetapan konstitusi baru (1946), Jepang menjadi anggota PBB (1956), normalisasi hubungan dengan Tiongkok (1972), hingga krisis minyak (1973). Dan periode terakhir dalam sejarah Jepang yang berlangsung sejak tahun 1989 hingga saat ini dinamakan periode Heisei.
           
Sumber:

Facts About Japan. (2016). History of Japan. Diakses dari http://facts-about-japan.com/history.html pada Sabtu, 23 April 2016.
Japan National Tourism Organization. A Brief History. Diakses dari http://www.jnto.go.jp/eng/arrange/essential/overview/history.html pada Sabtu, 23 April 2016.
Japan National Tourism Organization. Japan Overview. Diakses dari http://www.jnto.go.jp/eng/arrange/essential/overview/ pada Sabtu, 23 April 2016.
Japan-guide.com. (2011). History Overview. Diakses dari http://www.japan-guide.com/e/e2126.html pada Sabtu, 23 April 2016.
The Government of Japan. General Information. Diakses dari http://www.japan.go.jp/japan/facts/index.html#1 pada Sabtu, 23 April 2016.
Web-japan.org. History of Japan. Diakses dari http://web-japan.org/museum/historyofjp/histjp.html pada Sabtu, 23 April 2016.

Genealogi Teori Hubungan Internasional Menurut Steve Smith: 10 Self-Image

                    1.   Teori Internasional vs. Teori Politik Menurut Steve Smith, penjelasan yang paling baik mengenai teori internasio...