1. Teori Internasional vs. Teori Politik
Sumber:
Menurut
Steve Smith, penjelasan yang paling baik mengenai teori internasional terdapat
dalam paper yang ditulis oleh Martin
Wight pada tahun 1966. Dalam tulisan tersebut, Wight mendefinisikan teori
internasional sebagai sebuah tradisi yang didalamnya kita melakukan spekulasi
mengenai masyarakat negara, atau masyarakat bangsa (the family of nation), atau masyarakat internasional. Teori
internasional berbeda dengan teori politik yang lebih menaruh perhatian pada
‘spekulasi tentang negara (state)’.
Argumen Wight ini bukanlah sebuah penolakan terhadap teori internasional,
melainkan bahwa tidak ada satu pun bangunan dari teori internasional yang
berusaha menyaingi pencapaian yang diperoleh teori politik. Hal ini dikarenakan
tidak ada bangun teori internasional sebelum abad keduapuluh yang sesuai dengan
pekerjaan para ahli teori politik dan dikarenakan teori internasional yang ada
telah dicap sebagai teori yang ‘miskin akan intelektual dan moral’. Selain itu,
Wight juga berpendapat bahwa teori internasional tidak cocok bagi era yang
didominasi oleh kepercayaan terhadap kemajuan (progress). Namun argumen Wight yang paling utama adalah bahwa pembicaraan
mengenai teori internasional memerlukan penggunaan bahasa teori politik
domestik, dan bahwa hal ini tidaklah tepat bagi dunia di mana survival menjadi perhatian utama.
Sebagai gantinya, Wight berpendapat bahwa tidak ada teori internasional yang
terlepas dari filosofi sejarah. Oleh karena itu menurutnya, sejarawan merupakan
sosok yang dapat memberikan penjelasan terbaik mengenai ‘sifat alamiah dari
kebijakan luar negeri dan kinerja sistem negara’.
Menurut
Smith sendiri, penjelasan Wight bermasalah karena ia menyebabkan terciptanya
dikotomi yang salah antara teori politik dan teori internasional. Smith
mengutip beberapa kritik terhadap argumen Wight. Roy Jones mengkritik argumen Wight yang
menolak keberadaan teori internasional. Menurut Jones, argumen Wight seharusnya
diperbaiki menjadi ‘dalam English School tidak
ada teori internasional karena English
School telah memisahkan dirinya dari tema klasik yang ada dalam pemikiran
politik’. Sementara Chris Brown menganggap bahwa permasalahan dalam teori Wight
terletak pada terlalu sempitnya definisi teori politik yang digunakan oleh
Wight, yang hanya berfokus pada negara.
2. Pemikiran Komunitarian vs. Pemikiran Kosmopolitan
Menurut
Steve Smith, kategorisasi komunitarian dan kosmopolitan mengacu kepada
perdebatan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan teori normatif. Meskipun
istilah teori normatif ini juga menyesatkan karena mengimplikasikan adanya
teori non-normatif. Perbedaan mendasar antara komunitarian dan kosmopolitan
adalah sebagai berikut: teori komunitarian berpendapat bahwa komunitas politik
adalah pemegang hak dan kewajiban dalam masyarakat internasional, sementara
teori kosmopolitan berpendapat bahwa argumen moral harus didasarkan pada
kemanusiaan secara keseluruhan maupun pada individu, dan bukan pada komunitas. Perdebatan
antara kedua pemikiran ini telah membuka ruang yang cukup luas bagi
perkembangan teori internasional normatif dan untuk menghubungkan teori
internasional dengan debat-debat sejenis di dalam disiplin lainnya, khususnya
filsafat moral, dan teori sosio-politik.
Namun
permasalahan utama dengan pengategorian ini adalah bahwa sebagian besar teori
internasional telah berjalan seolah kategorisasi ini tidak ada. Sejak awal,
tujuan utama disiplin HI adalah untuk menciptakan teori politik internasional
yang otonom. Oleh karena itu, internasional harus diperlakukan secara terpisah
dari pokok-pokok teori politik dan sosial. Perdebatan kosmopolitan-komunitarian
juga menemui kesulitan karena perdebatan ini memusatkan perhatian pada analisis
moral dan etika, namun berfokus pada pendekatan saintifik dan menaruh perhatian
pada relevansi kebijakan. Sehingga dikhawatirkan perdebatan ini akan
menghasilkan teori internasional yang termarjinalisasi. Kekhawatiran lainnya
adalah bahwa perdebatan ini terlalu dangkal karena didasarkan pada perdebatan
dalam filsafat dan teori politik yang mana keduanya juga menerima banyak
kritik. Kedua pemikiran ini sulit atau mungkin mustahil untuk menuju
kesepakatan, karena tidak ada dasar independen untuk menyelesaikan perbedaan.
Terakhir, kedua pemikiran ini masing-masing memiliki kelemahan karena pada
intinya, perdebatan mereka berada di dalam kerangka istilah yang merupakan
konstruksi sosial, sehingga terbuka bagi munculnya pertanyaan-pertanyaan.
3. 3Rs
Martin
Wight membuat kategorisasi yang sangat berpengaruh dalam perkembangan teori
internasional Engslih School. Wight
membagi teori internasional ke dalam tiga tradisi, yang mana pembagian ini
menjadi tradisi kategorisasi yang dominan diantara mereka yang bekerja pada
persimpangan antara teori internasional dan teori politik. Pembagian Wight ini
adalah sebagai berikut: realis, rasionalis, dan revolusionis, atau
Machiavellian, Grotian, dan Kantian. Realis memandang politik internasional
sebagai sesuatu yang anarki, yang mana selalu berpotensi bagi timbulnya perang
antar satu sama lain. Rasionalis memandang politik internasional sebagai
perpaduan antara domain konflik dan kerjasama, di mana terdapat sekelompok
negara dengan peraturan dan perilaku yang dapat diamati. Revolusionis memandang
politik internasional benar-benar tentang kemanusiaan, civitas maxima, yang melampaui mayarakat internasional yang terdiri
dari negara-negara.
Menurut
Smith, terdapat tiga masalah utama dalam kategorisasi ini. Yang pertama adalah
terdapat cara lain untuk membagi teori politik internasional. Michael Donelan
(1990) misalnya, membagi teori politik internasional ke dalam lima bagian yaitu
hukum alami, realisme, fideisme, rasionalisme, dan historisisme, sementara
Nardin dan Mapel (1992) menawarkan dua belas cara untuk memikirkan etika
internasional. Hal ini bukan hanya perihal semantik, namun merupakan pertanyaan
mengenai apa yang menyebabkan adanya pemisahan posisi. Masalah kedua adalah
banyak pakar, dan tentunya sebagian besar pemikir politik, tidak mudah untuk
mengalami kecocokan dengan suatu tradisi. Tentu saja ini merupakan masalah yang
harus dihadapi oleh kategorisasi manapun, namun kasus Wight secara khusus
menandai hal ini. Masalah terakhir adalah apakah perdebatan antara ketiga
tradisi ini bisa diselesaikan atau apakah kategorisasi ini relativistik. Dunne
berpendapat bahwa ketiga tradisi ini sebaiknya dilihat relativistik secara
historis dibandingkan secara etik, dalam arti bahwa setiap tradisi cenderung
menjadi tradisi yang dominan pada masa yang berbeda dalam praktik sejarah,
namun masalahnya tetaplah bahwa masing-masing tradisi memiliki kriteria
evaluatif tersendiri yang berbeda satu sama lain, dan tidak adanya kriteria yag
disetujui oleh ketiga tradisi tersebut, sehingga tidak ada dasar untuk
mengevaluasi klaim kebenaran diluar ketiga tradisi tersebut.
4. Tiga Gelombang / Perdebatan Besar
Perdebatan
ini didasarkan pada pandangan kronologis terhadap perkembangan/kemajuan.
Beranjak dari asumsi hubungan internasional sebagai disiplin yang terpisah yang
didirikan oleh David Davies dari Woodrow
Wilson Chair di Aberystwyth pada 1919, pandangan ini membahas tiga tahap
utama perkembangan teori internasional. Sebagaimana yang diucapkan oleh John
Vasquez: ‘penyelidikan terhadap sejarah hubungan internasional abad keduapuluh
dapat dibagi secara kasar ke dalam tiga tahap: tahap idealis, tradisi realis,
dan revolusi “behavioral”’. Hedley Bull dalam melihat perkembangan teori
internasional juga mengadopsi kategorisasi yang sama, dengan tanggal-tanggal
kasar untuk menggambarkan periode dominasi: ‘idealis atau doktrin progressif,
yang, mendominasi pada tahun 1920an hingga awal 1930an, realis atau teori
konservatif yang berkembang sebagai reaksi terhadap idealis pada akhir tahun
1930an hingga 1940an, dan teori saintifik sosial yang dominan pada tahun 1950an
hingga 1960an, yang berasal dari ketidakpuasan terhadap metodologi yang
mendasari idealis dan realis’.
Jika idealisme, realisme, dan
behavioralisme sukses mendominasi disiplin HI, maka perhatian para penstudi
berfokus pada periode transisi yang menurut literatur mengacu pada dua
perdebatan besar, yaitu perdebatan antara idealisme dan realisme di akhir tahun
1930an hingga awal tahun 1940an dan perdebatan antara realisme dan
behavioralisme pada akhir tahun 1950an hingga 1960an. Beberapa penstudi juga
berpendapat bahwa terdapat perdebatan besar yang ketiga, namun terdapat
perbedaan mengenai protagonis pada perdebatan ketiga ini. Maghroor dan Ramberg
(1982) mengemukakan bahwa perdebatan ketiga melibatkan realis state-centric dan transnasionalis,
sementara Yosef Lapid (1989) melihat bahwa perdebatan ketiga ini terjadi antara
positivisme dan post-positivisme.
Bagi Arendt Lijphart teori
tentang tiga gelombang dan dua perdebatan besar ini dapat dipahami dengan baik
sebagai contoh ilmu sosial menurut konsep paradigma Thomas Kuhn. Lipjhart
berpendapat bahwa perdebatan besar yang kedua jauh lebih penting dibandingkan
perdebatan pertama karena perdebatan ini melibatkan perselisihan yang lebih
fundamental dibandingkan perdebatan realisme-idealisme. Baik realisme dan
idealisme merupakan bagian dari paradigma tradisional yang ditentang oleh
paradigma saintifik dalam perdebatan kedua. Oleh karena itu, periode kronologis
ketika idealisme, realisme, dan behavioralisme mendominasi merupakan periode normal science Kuhn, dengan perdebatan
besar yang mewakili masa krisis paradigma.
Menurut Smith, terdapat sejumlah
masalah dalam kategorisasi ini. Masalah pertama terkait dengan penggunaan
konsep paradigma Kuhn untuk menjelaskan tiga gelombang dan dua perdebatan besar
ini yang menurut Smith terlalu umum karena digunakan untuk menjelaskan teori
internasional lainnya. Kesulitan utama dalam mengaplikasikan teori Kuhn ini
adalah bahwa para pakar teori internasional menggunakan teori Kuhn seolah-olah
teori tersebut tidak bermasalah, padahal pada kenyataannya, menurut Smith, salah
satu masalah dari teori Kuhn adalah definisi paradigma yang diungkapkan Kuhn
tidaklah tepat. Permasalahan kedua terkait penggunaan teori Kuhn adalah Kuhn
sendiri mengungkapkan bahwa teorinya hanya dapat diaplikasikan kepada ilmu yang
telah mapan, dan bukan bagi proto-science
ataupun seni dan ilmu sosial. Ketiga, terdapat ketidakpastian mengenai
posisi Kuhn dalam memandang realitas, apakah Kuhn seorang relativis atau bukan,
pertanyaan ini belum mendapatkan jawaban yang pasti.
Selain masalah yang berkaitan
dengan penggunaan teori Kuhn, terdapat juga beberapa masalah lain. Masalah
pertama terletak pada konsep kronologi yang digunakan untuk menjelaskan tiga
gelombang dan dua perdebatan besar. Menurut Smith, teori internasional tidaklah
bergerak secara kronologis melalui tiga tahapan, dan penggambaran ini terlalu menyederhanakan
perkembangan teori internasional. Masalah kedua adalah bahwa penggambaran ini
menganggap paradigma sebagai konsep yang menyatu, sehingga meremehkan
kompleksitas yang ada. Teori ini melihat seolah satu tradisi kehilangan
pengaruhnya seiring masa dan kemudian digantikan oleh tradisi lain, sementara
pada kenyataannya, setiap tradisi masih memiliki pengaruh yang kuat hingga saat
ini. Terakhir, Smith juga mengkritik bahwa istilah ‘debat’ yang dilekatkan
kepada tradisi-tradisi tersebut adalah tindakan terlalu membesar-besarkan.
Setiap perdebatan ini, menurut Smith, sebenarnya bukanlah debat melainkan
serangkaian pertanyaan mengenai keyakinan dengan faktor politis atau sosiologis
tertentu yang pada akhirnya menentukan suara mana yang paling didengar.
5.
Perdebatan Antar Paradigma
Kategorisasi ini berpengaruh
sejak pertengahan 1980an, dan pertama kali diadopsi oleh Michael Banks pada
1984 yang mengacu pada situasi akibat terjadinya ‘revolusi’ behavioral.
Kategorisasi ini menggambarkan keadaan teori internasional sejak awal 1980an
hingga seterusnya. Sementara teori internasional secara tradisional ditandai
dengan kesuksesan paradigma dominan (idealisme/realisme/behaviouralisme),
kondisi pada awal tahun 1980an tidak didominasi oleh pendekatan manapun.
Terdapat tiga cerita alternatif yang masing-masing menawarkan cerita mengenai
politik internasional yang relatif koheren dan logis. Ketiga paradigma utama
ini adalah realisme/neo-realisme, liberalisme/globalisme/pluralisme, dan
neo-Marxisme/strukturalisme.
Ketiga paradigma ini
masing-masing menawarkan pandangan terhadap aspek politik internasional yang
berbeda. Realisme berurusan dengan perang dan damai, liberalisme berurusan
dengan manajemen rezim internasional yang di dalamnya terdapat aktor negara dan
non-negara yang terlibat secara aktif, dan neo-Marxisme berurusan dengan
isu-isu pembangunan dan kemiskinan global. Keunggulan dalam menggunakan
kategorisasi ini adalah menawarkan tiga interpretasi terhadap hubungan
internasional dan mengundang perdebatan diantara ketiganya.
Permasalahan pertama yang muncul
dari kategorisasi ini menurut Smith adalah pembagian antara ketiga paradigma
ini dapat dipertanyakan. Menurutnya ketiga paradigma ini tidak terlalu berbeda.
Perbedaan justru ditemukan di dalam masing-masing paradigma itu sendiri.
Masalah yang kedua adalah pengkategorisasian teori internasional ke dalam tiga
bagian telah mengabaikan proporsi yang besar dari aktivitas politik dan ekonomi
internasional, sehingga membatasi ruang lingkup teori internasional dan
membungkam interpretasi lainnya. Masalah ketiga, gagasan ‘antar-paradigma’ yang
diusung oleh kategorisasi ini menyesatkan, karena hal ini mengimplikasikan
bahwa ketiga paradigma dapat saling berkonfrontasi satu sama lain untuk
menjelaskan hubungan internasional. Masalah ini kemudian mengantarkan kepada
masalah selanjutnya, yaitu karakterisasi dalam menjelaskan ‘debat’ sebagai
fitur untuk mendefinisikan teori internasional menjadi sangat konservatif dan
terbatas. Akibatnya adalah setiap paradigma akan sibuk dengan agenda
penelitiannya sendiri dan meninggalkan paradigma lainnya. Hal ini menjadi cara
yang efektif untuk memarjinalkan suara-suara ketidaksepakatan.
Masalah yang kelima adalah
gagasan mengenai perdebatan antar-paradigma menyembunyikan fakta bahwa sebagian
besar teori internasional adalah realis. Terakhir, gagasan mengenai perdebatan
antar paradigma meliputi komplikasi tersembunyi atas pertanyaan apakah ketiga
paradigma ini merupakan tiga aspek yang berbeda dari dunia yang sama atau
apakah ketiganya memandang dunia yang berbeda.
6.
Negara-Sentrisme vs. Transnasionalisme
Menurut Maghroori dan Ramberg,
perdebatan antara negara-sentris dan transnasionalis meliputi perdebatan besar
ketiga dalam sejarah teori internasional. Sederhananya, perselisihan terjadi
antara negara-sentris dan globalis atau trans-nasionalis mengenai peran negara
dalam politik internasional. Pandangan ini berakar pada periode waktu serta
lokasi politik dan geografik tertentu. Kelemahan utama dalam kategorisasi ini,
menurut Smith, adalah bahwa kategorisasi ini mengarah
pada fokus atas ukuran kuantitatif dari aktivitas aktor. Masalah lainnya
adalah literatur transnasionalis mengadopsi perspektif spesifik mengenai
ekonomi politik. Sebagaimana yang ditunjukkan Robert Giplin terdapat setidaknya
tiga cara utama untuk menjelaskan perilaku ekonomi politik internasional.
Dengan ini berarti transnasionalis berada di dalam perspektif liberal.
Masalahnya, tentu saja, dua penjelasan lain (nasionalis
dan Marxis) menawarkan kritik yang kuat terhadap pandangan ekonomi politik
liberal.
7.
Neo-realisme dan Neo-liberalisme
Karakterisasi teori internasional
ini merupakan ronde terakhir dari perdebatan yang tengah berlangsung.
Karakterisasi ini berasal dari debat antara negara-sentrisme dan
transnasionalisme, namun lebih banyak berhubungan dengan debat antara paradigma
pluralis dan neo-realis pada tahun 1980an. Dalam banyak hal, debat ini
merupakan yang paling signifikan saat ini dalam teori internasional arus utama
di Amerika Serikat. Menurut David Baldwin (1993), terdapat enam poin yang
diperselisihkan dalam debat ini. Poin yang pertama menyangkut sifat dan
konsekuensi anarki, neo-realis memberikan perhatian yang lebih terhadap
keamanan fisik sebagai sumber motivasi bagi tindakan negara dibandingkan
neo-liberal. Kedua, neo-realis berpendapat bahwa kerjasama internasional lebih
sulit untuk dicapai dibandingkan neo-liberal. Ketiga, neo-realis menekankan
keutamaan relative gains bagi para
pembuat keputusan dalam menghadapi kerjasama internasional, sementara
neo-liberal menekankan pentingnya absolute
gains. Keempat, neo-realis cenderung berurusan dengan isu-isu keamanan
nasional, sementara neo-liberal cenderung menaruh perhatian pada ekonomi
politik, yang menyebabkan masing-masing paradigma memiliki pandangan yang
berbeda terhadap prospek kerjasama. Kelima, neo-realis lebih berkonsentrasi
pada kapabilitas dibandingkan maksud/tujuan, sementara neo-liberal lebih
berkonsentrasi pada maksud/tujuan dan persepsi. Terakhir, sementara neo-liberal
memandang institusi dapat mengurangi anarki internasional neo-realis meragukan
hal tersebut.
Menurut Smith, terdapat
beberapa batasan serius dari pandangan ini. Batasan yang utama adalah bahwa
kedua paradigma ini memiliki pandangan yang sangat sempit terhadap topik dalam
perdebatan teori internasional. Keduanya sama-sama memiliki definisi yang
dangkal mengenai isu-isu utama dalam teori internasional. Selain itu, kedua
paradigma ini sangatlah mirip, jika kita melihatnya dari kedekatan keduanya
dalam posisi mereka terhadap enam poin Baldwin.
8. Perdebatan Post-Positivis
Dalam
beberapa tahun terakhir, sejumlah serangan yang kuat telah ditujukan oleh
berbagai penstudi dari berbagai kelompok. Bagi Yosef Lapid, hal ini merupakan
tantangan post-positivis terhadap dominansi realis atas teori internasional.
Terdapat empat kelompok utama yang terlibat dalam tantangan ini. Tantangan
pertama datang dari Teori Kritis yang berfokus pada karya Robert Cox (1981,
1987), Mark Hoffman (1987) dan Andrew Linklater (1982, 1990, 1992). Bagi teori
kritis, pengetahuan tentang dunia selalu dipahami dalam
konteks kepentingan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Frankfurt School, terutama Jurgen Habermas. Pengetahuan tidaklah
netral, sebagaimana yang diungkapkan oleh positivis. Bagi teori kritis,
pemecahan masalah ala positivisme perlu digantikan oleh teori kritis, yang
menyadari kepentingan politik dari apa yang direpresentasikannya, dan dengan
komitmen yang terbuka bagi emansipasi.
Aliran
pemikiran yang kedua berkembang dari keprihatinan terhadap terjadinya tumpang
tindih antara sosiologi dan hubungan internasional di bawah judul umum
sosiologi historis. Aliran ini merupakan pengelompokan yang luas dari
penelitian historis Michael Mann (1986, 1993) dan Charles Tilly (1975, 1990)
hingga studi spesifik mengenai revolusi sosial dari Theda Skocpol (1979). Poin
dari pemikiran ini adalah bahwa sosiologi historis menunjukkan bahwa negara, merupakan produk dari interaksi antara kekuatan
internal dan pengaturan eksternal. Kelompok ini merupakan kelompok yang
kurang mencerminkan post-positivis jika dibandingkan dengan kelompok lainnya,
karena kelompok ini menggunakan metode yang sama dan bergantung pada asumsi
yang sama dengan, contohnya, perdebatan antar-paradigma. Penemuannya,
bagaimanapun, mewakili rongrongan signifikan terhadap neo-realisme.
Kelompok
yang ketiga meliputi para penulis feminis. Kelompok ini terdiri dari kategori
yang sangat luas dari berbagai tema dan asumsi, namun perhatian utamanya adalah
pada konstruksi gender. Karya yang dihasilkan oleh penulis-penulis hubungan
internasional feminis terentang dari mereka yang menaruh perhatian pada isu
seputar perempuan, melalui ketertarikannya dengan struktur yang didominasi
laki-laki, hingga para penulis yang membahas mengenai sifat alamiah dari
identitas dan gender. Pada intinya, setiap penulis menantang
asumsi sifat alamiah teori internasional yang genderless dan menunjukkan bagaimana asumsi tentang peran gender
dan bahkan pengetahuan yang tergenderkan, melintasi teori internasional.
Kelompok
terakhir adalah para penulis yang menaruh perhatian pada perkembangan
penafsiran hubungan internasional post-modern. Dengan membawa semangat dari
Foucault, Derrida, Nietzsche, Heidegger dan Virilio, teoretis posmodern
internasional menyerang gagasan tentang realitas, atau
kebenaran, atau struktur atau identitas yang utama dalam teori internasional.
Kesamaan
dari keempat kelompok ini terletak pada komitmen mereka untuk melepaskan teori
internasional dari asumsi positivisme dan realisme. Dalam hal ini, keempat
kelompok tersebut adalah post-positivis meskipun mereka memiliki perbedaan yang
besar mengenai apa yang ingin mereka masukan ke dalam teori internasional.
Meskipun begitu, perbedaan tersebut menjadi masalah bagi kategorisasi ini,
karena memunculkan kekhawatiran bahwa pemikiran-pemikiran yang berbeda tersebut
tidak dapat dikelompokkan bersama. Dalam hal ini, mereka tidak
disatukan oleh apa yang mereka sepakati, melainkan oleh apa yang mereka lawan.
9.
Teori Konstitutif vs. Teori
Eksplanasi
Divisi
antara teori konstitutif dan teori eksplanasi ini muncul antara para teoretis
yang berusaha menawarkan sisi eksplanasi bagi hubungan internasional, dan para
teoretis yang memandang teori sebagai konstitutif dari realitas. Telah banyak
upaya yang dilakukan untuk mengatasi ketegangan antara kedua teori ini. Salah
satu upaya yang paling terkenal datang dari realisme saintifik Bhaskar dan
teori strukturasi Giddens, yang dianggap oleh Smith tidak berhasil untuk
mengatasi ketegangan pada perdebatan ini. Giddens memandang teori konstitutif
pada akhirnya mencakup faktor struktural dan eksternal yang mampu ditangani
teori eksplanasi, sementara Bhaskar memandang teori eksplanasi mampu untuk
berhadapan dengan makna dan pemahaman.
Namun
dalam teori internasional, perselisihan antara teori eksplanasi dan konstitutif
tampaknya menjadi pusat perdebatan. Kebanyakan karya para pemikir post-modern
dan teori kritis dan sebagian feminis cocok ke dalam kategori luas dari teori
konstitutif, contohnya adalah karya dari Alexander Wendt (1987, 1991, 1992,
1989), John Ruggie (1983, 1993), Nicholas Onuf (1989), dan Walter Carlsnaes
(1992, 1994), sementara semua karya yang termasuk ke dalam tiga paradigma
dominan pada tahun 1980an yaitu realisme, pluralisme, dan neo-Marxisme berada
pada sisi yang berlawanan dari teori-teori tersebut.
Salah
satu dampak dari memikirkan teori internasional dalam divisi ini memungkinkan
kita untuk berpikir lebih canggih dalam memikirkan realisme. Hal ini
dikarenakan terdapat tumpang tindih yang sangat sifnifikan antara teori
konstitutif kontemporer serta teori internasional milik English School (khususnya karya Bull) dan beberapa pemikir realis
(yang bukan neo-realis, khususnya Niebuhr dan Carr). Inti dari perdebatan dalam
masing-masing kategori pada dasarnya sama. Bagi English School, masalah tersebut adalah apakah makna dan
interpretasi dari masyarakat internasional adalah konstitutif dari masyarakat
tersebut atau semata-mata sandi bagi kekuatan struktural. Dalam realisme, inti
dari pembagian antara realisme praktik dan teknik berselisih pada pertanyaan yang
sama. Dalam setiap kasus, terdapat berbagai versi dari permasalahan yang sama
yang menjadi inti dari perselisihan antara teori eksplanasi dan konstitutif.
10.
Teori Internasional Fondasionalis
dan Anti-Fondasionalis
Menurut
Smith, perdebatan ini adalah perdebatan yang paling menyenangkan yang terjadi
di dalam teori konstitutif yaitu antara dua epistemologi yang berbeda. Mark
Hoffman dan Nick Rengger mengajukan bahwa terdapat dua jenis yang berbeda dari
teori internasional post-positivis. Pandangan ini muncul dari ketidaksepakatan
antara mereka atas sifat dari teori internasional kritis, namun mengarah pada paper yang membuat perbedaan berarti
dari kedua jenis teori tersebut. Para teoretis interpretatif kritis berpendapat
bahwa kriteria utama untuk menilai klaim kebenaran adalah dengan menanyakan
apakah suatu teori bersifat emansipatoris, sehingga berbeda dari teori yang
hanya bersifat problem-solving. Teori
problem-solving dianggap sebagai
teori positivis dan berusaha untuk memperbaiki kondisi manusia, sementara teori
interpretatif kritis dipandang sebagai emansipatoris yang berusaha menerima
dunia sebagaimana adanya dan berkonsentrasi pada usaha untuk mengatur, dan
bukan mengubah dunia.
Di
sisi lain, interpretativisme radikal bersama teori interpretatif kritis menolak
positivisme namun tidak berbagi fondasionalisme minimal mereka. Sebaliknya,
interpretativisme radikal mengemukakan hubungan power-knowledge yang mempertanyakan, bahkan terhadap klaim
emansipatoris teori enterpretatif kritis. Bagi teori interpretatif radikal,
teori interpretatif kritis hanyalah usaha lainnya untuk menyediakan metanarasi.
Bagi teoretis kritis, emansipasi berarti sesuatu yang sangat berbeda dari apa
yang dimaksud oleh banyak feminis radikal. Singkatnya, sementara para teoretis
kritis ingin menetapkan sebuah fondasionalisme minimal, para interpretatif
radikal berpendapat bahwa hal ini hanyalah sesuatu yang sama palsunya dengan
klaim positivis mengenai kebenaran sebagai korespondensi.
Sumber:
Smith, S. (1995). The Self-Images of
a Discipline: A Genealogy of International Relations Theory. Dalam K. Booth,
& S. Smith, International Relations Theory Today (hal. 1-37).
Pennsylvania State University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar