Senin, 02 September 2019

Sejarah Diplomasi Kuno hingga Modern


Istilah diplomasi berasal dari bahasa Yunani Kuno δίπλωμα, yang berarti “dokumen resmi yang menganugerahkan hak istimewa”. Istilah ini terdiri dari kata diplo yang berarti “dilipat dua” dan akhiran –ma yang berarti “objek”. Kertas yang dilipat mengungkapkan hak istimewa berupa izin bepergian—kata ini menunjukkan dokumen yang dimiliki oleh para pangeran (Marks & Freeman, 2018). Menurut Henry A. Kissinger diplomasi dapat dipahami sebagai seni untuk menghubungkan negara yang satu dengan negara lainnya melalui kesepakatan dan bukan dengan paksaan (Freeman, 2005). Sejumlah ilmuwan telah mencoba menelusuri sejarah awal mula diplomasi dipraktikkan guna mengetahui perkembangan dan pola diplomasi yang komprehensif dalam berbagai masa. Sering dikatakan bahwa gaya dan peraturan diplomasi yang mengatur praktik diplomasi hanya dikembangkan setelah kristalisasi sistem negara bangsa. Namun bertentangan dengan gagasan ini, para ilmuwan telah membuat penelusuran ilmiah untuk melacak asal-usul praktik diplomasi sebelum peradaban manusia memulai perjalanannya. Tulisan ini akan memaparkan sejarah diplomasi sejak masa kuno hingga saat ini, dengan memeriksa pendapat dari para ilmuwan sehingga kita dapat membandingkan karakteristik diplomasi kuno dan diplomasi modern serta mengetahui bagaimana diplomasi berevolusi.

1.     Diplomasi Kuno
Diplomasi kuno dapat kita klasifikasikan ke dalam beberapa tempat dan tahap, yaitu sebagai berikut.

a.      Diplomasi Era Prasejarah
Diplomasi dan hubungan antar negara memiliki sejarah yang panjang, sebagaimana sejarah peradaban manusia dan dunia. Dietrich Kappeler dalam tulisannya yang berjudul “The Birth and Evolution of Diplomatic Culture” mengungkapkan bahwa praktik-praktik diplomasi sederhana telah berjalan sejak manusia hidup secara berkelompok. Dalam periode awal sejarah, terdapat kecenderungan dalam hubungan yang dijalin oleh sekelompok manusia yang tinggal di wilayah yang sama, yaitu bahwa hubungan tersebut dilakukan dalam rangka perburuan makanan. Hubungan seperti ini sebagian besar bersifat permusuhan dan mengakibatkan kelompok-kelompok tersebut saling menjauh. Namun karena populasi manusia semakin meningkat, pertarungan mereka untuk memperebutkan wilayah menjadi lebih ganas dan lebih sering terjadi. Ketika pertarungan terjadi, hubungan diplomatik pertama lahir diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan ini yang dilakukan demi menyetujui gencatan senjata dan untuk memulihkan kekuatan para petarung. Diplomat-diplomat pertama ini telah memiliki karakteristik tertentu yaitu mereka datang tanpa senjata dan mencoba menggunakan persuasi demi mendapatkan apa yang mereka inginkan (Kappeler, 2004).
Ketika beberapa kelompok manusia mulai menetap, mereka mulai berinteraksi baik dengan kelompok menetap terdekat lainnya maupun kelompok yang nomaden. Ketika hubungan yang terjadi tidak melibatkan tindakan kekerasan, kelompok-kelompok ini saling melakukan pertukaran barang, hewan, dan bahkan tahanan dari pertarungan sebelumnya. Untuk memungkinkan pertukaran ini berjalan dengan baik, harus ada suatu perjanjian perdamaian yang disepakati oleh masing-masing pihak. Para utusan yang aktif dalam hubungan ini perlu memiliki status sosial tertentu dan memiliki pengetahuan yang diperlukan mengenai isu-isu yang bersangkutan. Terkadang mereka diharuskan tetap menjadi sandera untuk menjamin pelaksanaan perjanjian. Seringkali mereka adalah individu yang berhubungan dengan penguasa kelompok mereka. Sebagai sandera, mereka menjadi akrab dengan budaya kelompok yang menahan mereka (Kappeler, 2004).
Pendapat Kappeler ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Peter Karavites dalam tulisannya yang berjudul “Diplomatic Envoys in the Homeric World”. Menurutnya, meskipun teori tentang kedutaan permanen baru benar-benar diperkenalkan setelah Perjanjian Westphalia (1648 M), praktik diplomasi telah dilakukan oleh orang-orang di Mesopotamia dan daerah Pesisir Timur, bangsa Mesir Kuno, bangsa Yunani Kuno, dan bangsa Romawi Kuno. Bahkan menurutnya, praktik diplomasi juga terjadi secara alami diantara ras primitif dari kepulauan Pasifik dan di beberapa suku aborigin Australia. Jauh sebelum adanya Perjanjian Westphalia, perwakilan permanen atau kuasi-permanen merupakan hal yang tidak asing di beberapa istana Mesopotamia. Zimrilim, raja Asiria, telah memiliki beberapa koresponden sejenis di Babilonia, sebagaimana yang dimiliki Hammurabi di Mari (Karavites, 1987).

b.      Diplomasi Era India Kuno
            Diplomasi pada masa India Kuno dapat kita pelajari dari tulisan Kautilya, penasehat utama dari raja India Chandragupta Maurya (sekitar 317-293 SM) yang pertama kali menyatukan anak benua India menjadi sebuah kerajaan. Literatur yang ditulis Kautilya ini berjudul Arthaśāstra yang diterjemahkan sebagai “Science of Politics”. Dalam Arthaśāstra, Kautilya menawarkan diskusi yang luas dan benar-benar menarik mengenai perang dan diplomasi (Boesche, 2003). Peran penting diplomasi menurut Kautilya adalah “raja yang memahami implikasi sejati dari diplomasi menaklukkan seluruh dunia”. Kautilya percaya bahwa negara-negara bertindak dalam kepentingan politik, ekonomi, dan militer mereka sendiri sehingga diplomasi akan dipraktekkan selama diplomasi melayani kepentingan pribadi negara, karena setiap negara bertindak dengan cara memaksimalkan kekuatan dan kepentingan pribadi. Menurutnya, dunia berada dalam keadaan di mana sebuah kerajaan sedang berperang atau sedang bersiap untuk perang dan diplomasi adalah senjata lain yang digunakan dalam peperangan konstan ini. Dia percaya bahwa diplomasi adalah serangkaian tindakan yang diambil oleh sebuah kerajaan sehingga memperoleh kekuatan dan akhirnya menaklukkan negara yang dengannya hubungan diplomatik tercipta. Kautilya juga percaya bahwa perjanjian harus dibuat sedemikian rupa sehingga raja melayani kepentingan pribadi kerajaan. Untuk lebih memahami konsep diplomasi Kautilya, kita harus memahami konsep Mandala mengenai enam jenis kebijakan luar negeri dan empat solusi (Chandrasekaran, 2006).
           
c.       Diplomasi Era Yunani Kuno
            Sumber paling awal mengenai diplomasi Yunani adalah dalam karya Homer yang berjudul “Illiad and Odyssey”. Elemen pertama mengenai urusan antar negara dapat diamati pada Olimpiade tahun 776 SM. Sejak abad ke-6 SM, Liga Amphictonic mempertahankan majelis antarnegara bagian dengan hak ekstrateritorial dan sekretariat permanen. Pada pertengahan abad ke-6 SM, Sparta secara dinamis mengembangkan aliansi dan telah membentuk Liga Peloponnesia sejak 500 SM. Selama perang Yunani-Persia, Athena melakukan Liga Delian pada abad ke 5 SM. Sementara itu sebagai semacam institusi diplomatik, terdapat tiga perwakilan di Yunani, yaitu (Mammadova, 2016):
1. angelos atau presbys, adalah utusan dan penatua yang dikirimkan untuk misi singkat dan spesifik;
2. keryx, adalah pembawa berita yang memiliki hak khusus atas keselamatan pribadi; dan
3. proxenos, adalah penduduk Yunani resmi maupun tidak resmi.

d.      Diplomasi Era Romawi
            Diplomasi di Era Romawi banyak dipengaruhi oleh diplomasi Yunani Kuno. Pada masa Romawi, penggunaan diplomasi sebagian besar bersifat legal dan komersial, salah satunya adalah penggunaan jalur diplomatik dalam mempertahankan hubungan dagang di dalam suatu provinsi. Orang Romawi tidak banyak menggunakan praktik diplomasi untuk tujuan administratif. Sebaliknya, mereka banyak berinvestasi dalam membangun kapabilitas militer dan keahlian militer mereka. Perwakilan diplomatik Romawi disebut Legatus, yang ditunjuk dari dan oleh Senat. Legatus memiliki beberapa kewenangan untuk bebas bertindak. Kebutuhan seorang utusan sebagian besar dipenuhi oleh komandan militer dan gubernur provinsi yang dihadiri (Kurazaki, 2011).

e.       Diplomasi Era Bizantium (Romawi Timur)
Setelah keruntuhan Kekaisaran Romawi pada 476 SM, Kekaisaran Bizantium muncul dengan praktik diplomasi yang merajalela. Kekaisaran Bizantium tidak memiliki kapabilitas militer yang kuat namun hal ini justru mendorong kekaisaran ini untuk menjaga hubungan dengan kerajaan-kerajaan tetangganya melalui cara-cara lain. Karena itu, diplomasi dilembagakan oleh Bizantium (Chaniotis & Ducrey, 2002). Kekaisaran ini memiliki beberapa cara untuk mencapai kesuksesan dalam membangun hubungan diplomatik. Cara pertama adalah dengan memanfaatkan rasa kekaguman. Tujuannya adalah untuk mengesankan utusan negara tetangga yang berkunjung dengan tampilan “superioritas absolut, kemewahan, dan kekayaan”. Sebagai kekaisaran Kristen, metode diplomasi kedua yang dilakukan oleh Bizantium adalah dengan mengeksploitasi penyuapan secara maksimal demi memperoleh keamanan dari kerajaan-kerajaan tetangganya yang kuat dan sebagian besar merupakan pengikut agama Islam. Penyuapan ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian sehingga tidak terlihat secara jelas, melalui upeti atau dengan memberikan persediaan perdagangan. Jika dua metode diplomatik ini gagal mencapai tujuan yang diinginkan, metode lain yang digunakan adalah melalui jalur perkawinan. Praktik ini diperkuat dengan sarana mas kawin dan hadiah yang merupakan bagian tak terpisahkan dari upacara pernikahan. Metode terakhir dari diplomasi Bizantium adalah kebijakan memisahkan tetangga dan mengadu-domba mereka. Untuk mencapai tujuan ini secara efektif, praktik pengumpulan informasi merupakan bagian penting dari administrasi Bizantium. Karena itu, terdapat bukti nyata intelijen di arena diplomatik. Para pembesar Bizantium tidak hanya dikirimkan untuk mewakili kerajaan mereka tetapi juga untuk mengumpulkan cukup informasi. Mereka memiliki badan yang dinamakan Skrinion Barbaron yang berfungsi sebagai biro hubungan luar negeri yang bertanggungjawab untuk mengumpulkan intelijen. Badan ini bisa dianggap sebagai salah satu badan intelijen pertama di dunia. Merangsang permusuhan antara negara-negara asing adalah sarana mengulur-ulur waktu yang akan membuat Bizantium memiliki lebih banyak waktu untuk mencegah perang. Metode-metode diplomasi ini berkontribusi pada umur panjang Kekaisaran Bizantium hingga jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 ke tangan Turki Ottoman. Metode tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh city-state Italia selama periode Renaissance (Hamilton & Langhorne, 2011).

f.        Diplomasi di Negara-Kota Italia
Kemunduran Kekaisaran Bizantium berarti meningkatnya ancaman Turki Utsmani ke arah barat. Sementara itu disisi lain Dinasti Valois yang berhasil menyatukan Prancis tengah berusaha memperluas wilayahnya dengan menyerang Italia. Ancaman-ancaman eksternal dan kesadaran akan militer yang lemah memaksa negara-negara kota Italia yang awalnya saling berkelahi satu sama lain mulai mencari keamanan bersama dengan menciptakan aliansi dengan memperkuat hubungan mereka melalui saluran diplomatik, yang melahirkan penandatanganan Perjanjian Lodi yang membahas mengenai konsep non-agresi antara satu sama lain. Perwakilan dari berbagai negara-kota ditempatkan di istana raja di ibukota. Praktek ini muncul akibat dua alasan utama. Pertama, ada sedikit kepercayaan di dalam negara-negara kota Italia karena sebelum adanya Perjanjian Lodi mereka saling permusuhan. Oleh karena itu, membangun kepercayaan terhadap kerja sama dan koordinasi lebih lanjut merupakan suatu kebutuhan awal yang harus digenapi. Kedua, keseimbangan kekuasaan sangat rapuh dan sangat bergantung pada intelijen yang dikumpulkan untuk mempersiapkan resiko yang mungkin terjadi jika ada negara kota yang membelot dari perjanjian tersebut (Kurazaki, 2011). Oleh karena itu dibutuhkan adanya duta besar residen untuk memperingatkan raja kembali ke negara-kotanya. Kebutuhan akan duta besar residen menghasilkan adanya dua kedutaan, yaitu kedutaan permanen dan duta besar residen yang melenbagakan praktik diplomasi di bagian utara Italia. Pada saat Perang Tiga Puluh Tahun pecah, seluruh Eropa telah mengadopsi sistem kedutaan permanen dan duta besar residen. Kedamaian ini ternyata hanya bertahan hingga datangnya invasi Charles VIII dari Perancis pada 1494 M. Namun meskipun begitu, serangan ini telah mendorong negara-negara Eropa lainnya untuk mengadopsi konsep diplomasi Italia (Mattingly, 1955).

g.      Praktik Diplomasi di Abad Ke-16 hingga abad 20 M
Praktik diplomasi yang intensif dan perbaikan di bidang diplomasi berlangsung pada periode ini dikarenakan adanya Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648). Semakin banyak negara bagian yang menjadi mandiri dan berdaulat telah membentuk kedutaan permanen dan duta besar residen. Oleh karena itu, sebuah kebutuhan dirasakan untuk membentuk semacam kekebalan diplomatik untuk membebaskan duta besar dari perlakuan sewenang-wenang oleh para raja penerima. Ditetapkan juga bahwa dikarenakan para duta besar mewakili raja itu sendiri, maka mereka harus diperlakukan secara setara (Ahonen-Ström & Andgren, 2006). Tokoh yang prestisius dalam diplomasi pada periode ini adalah Cardinal Richelieu yang pada tahun 1624 mendirikan Kementerian Urusan Luar Negeri pertama yang memusatkan semua urusan luar negeri di bawah satu departemen terpisah (Islam, 2005). Dia juga berjasa dalam memberikan dua inovasi utama dalam praktek diplomasi. Kita mungkin mengingat pendapat Kissinger yang mendefinisikan negosiasi sebagai praktik yang melibatkan “konsesi perdagangan” (Kissinger, 1994). Ternyata praktik ini diperkenalkan pertama kali oleh Richelieu yang menganggap konsesi dan kontra konsesi merupakan bagian negosiasi yang sangat signifikan. Dia juga menekankan bahwa perdagangan konsesi ini perlu dipraktekkan secara pribadi karena menjadi tidak praktis saat dipublikasikan. Oleh karena itu, rincian mengenai negosiasi perlu dijaga kerahasiaannya (Kurazaki, 2011). Inovasi Richelieu yang lainnya adalah penekanannya pada aspek kontinuitas diplomasi, yang menyatakan bahwa upaya diplomatik akan lebih bermanfaat jika berjalan secara terus-menerus baik di masa perang maupun damai (Richelieu, 1961). Peristiwa penting lainnya yang menandai perkembangan diplomasi pada periode ini adalah Perjanjian Westphalia (1648), Kongres Wina, pembentukan Liga Bangsa-Bangsa, dan Perang Dingin.

2.     Diplomasi Modern
Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan pada tahun 1945. Namun karena adanya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, PBB seringkali mengalami keterbatasan dalam menjalankan tugasnya. Kekuatan veto dieksekusi secara ekstensif oleh satu sama lain. Dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, segala sesuatunya mulai berjalan lebih lancar dari sebelumnya. Periode tersebut bisa dianggap sebagai periode kemunculan diplomasi modern. Pada diplomasi modern, telah terjadi pergeseran fokus diplomasi dari yang awalnya bersifat politik menjadi ekonomi, menyebabkan para duta besar harus memasukkan hubungan komersial dan ekonomi di dalam lingkup kerja mereka. Masuknya aspek ekonomi ke dalam diplomasi dilatarbelakangi oleh keberhasilan hubungan ekonomi dalam mengurangi ketegangan antara negara-bangsa secara efektif. Karena itu, aspek ekonomi suatu bangsa juga memainkan peran utama dalam diplomasi berbasis negara. Disamping itu, penugasan duta besar tertentu juga memegang peranan penting. Ketika negara A menugaskan seorang duta besar untuk negara B, perlu dicatat jika duta besar tersebut menjalankan kekuasaan atas pemimpin negara A. Dalam istilah yang lebih sederhana, pilihan duta besar yang ditugaskan oleh negara untuk negara lain menunjukkan pentingnya hubungan dengan negara tersebut. Sehingga proyeksi kebijakan luar negeri suatu negara tidak lagi terbatas pada Kementerian Luar Negeri. Akhir-akhir ini, kepala pemerintahan dan juga kepala negara telah secara aktif berpartisipasi di dalam diplomasi. Perubahan ini adalah apa yang saat ini kita kenal dengan istilah diplomasi publik (Islam, 2005).
Adanya LBB dan PBB juga membawa pola baru dalam hubungan diplomatik yang awalnya hanya bersifat bilateral menjadi bersifat multilateral. Pendekatan multilateral ini semakin meningkat pasca 1945 (KCMG, 2009). Diplomasi modern juga mengalami perubahan dari segi aktor. Seiring munculnya aktor-aktor non-negara yang berperan penting dalam sistem internasional, saat ini diplomasi tidak hanya merupakan otoritas pemerintah pusat. Diplomasi juga melibatkan lebih banyak aktor seperti pemerintah daerah (paradiplomasi), warga negara (diplomasi publik), dll.  
            Teknologi informasi yang merupakan fitur abad ke-21 juga membawa perubahan dalam karakteristik diplomasi ke dalam komunikasi modern. Saat ini, pengoperasian sirkulasi informasi dan aksesibilitasnya mengubah dinamika pekerjaan diplomatik yang memerlukan reaksi lebih cepat dan prinsip pemilihan informasi lainnya. Selain itu, agenda abad ke-21 mewajibkan para ahli di berbagai bidang: masalah energi, lingkungan, keuangan, ekonomi, hak asasi manusia, masalah kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, kejahatan terorganisir, masalah keamanan dan terorisme. Transformasi Diplomasi di abad ke-21 ditandai dengan pesatnya kerjasama dan koordinasi antar institusi dalam memecahkan berbagai pertanyaan. Dalam konteks UE, misalnya, ini adalah pertanyaan tentang pengembangan European External Action Service (EEAS) yang akan mampu memastikan penyampaian kebijakan yang efektif dan efisien (Klavins, 2011).
            Banyak fitur diplomasi yang disebutkan di atas sesuai dengan tipologi Graham Evans dan Jeffrey Newnham. Menggambarkan perubahan diplomasi di abad 21, para penulis ini memperhatikan transformasi dalam mekanisme diplomasi dan diplomat. Para penulis, misalnya, menunjukkan perubahan berikut: dialog diplomatik yang diperluas; perubahan dalam penekanan—perhatian lebih untuk diplomasi multilateral; sejumlah besar ahli dan spesialis yang terlibat; semakin pentingnya media massa, pelaku masyarakat internasional dan aktor nonpemerintah. Hal ini dipengaruhi oleh proses perubahan terus-menerus. Seiring perubahan dunia begitu juga melakukan diplomasi. Oleh karena itu, seperti yang Brian Hocking tulis, "Diplomasi merespons, seperti sebelumnya, berubah dalam karakter negara dan masyarakat" (Klavins, 2011).

  
Sumber:
Ahonen-Ström, K., & Andgren, P. (2006). Changing Diplomacy: Actors or Structures? Lund: Lund University.
Boesche, R. (2003). Kautilya’s Arthasastra on War and Diplomacy in Ancient India. The Journal of Military History Volume 67 Number 1, 9-37.
Chandrasekaran, P. (2006). Kautilya: Politics, Ethics And Statecraft.
Chaniotis, A., & Ducrey, P. (2002). Army and Power in the Ancient World. Stuttgart: Franz Steiner Verlag.
Freeman, C. W. (2005). The Diplomat's Dictionary. Washington DC: US Institute of Peace Press.
Hamilton, K., & Langhorne, R. (2011). The Practice of Diplomacy: Its Evolution, Theory, and Administration. New York: Routledge.
Hocking, B., Melissen, J., Riordan, S., & Sharp, P. (2012). Futures for Diplomacy: Integrative Diplomacy in the 21st Century. Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’.
Islam, S. M. (2005). Changing Nature and Agenda of Diplomacy: A Critical Analysis. Assian Affairs Vol.27 No.1, 56-71.
Kappeler, D. (2004). The Birth and Evolution of Diplomatic Culture. Dalam H. Slavik, Intercultural Communication and Diplomacy (hal. 353-359). Jenewa: Diplofoundation.
Karavites, P. (1987). Diplomatic Envoys in the Homeric World.
KCMG, S. I. (2009). The Development of Modern Diplomacy . London: Chatham House.
Kissinger, H. A. (1994). Diplomacy. USA: Simon and Schuster Inc.
Klavins, D. (2011). Understanding the Essence of Modern Diplomacy. The ICD Annual Academic Conference on Cultural Diplomacy 2011: Cultural Diplomacy and International Relations; New Actors; New Initiatives; New Targets (hal. 1-7). Berlin: European Social Fund.
Kumar, M. (t.thn.). Relevance of Ancient Indian Diplomatic Styles in Contemporary Era of Globalization. Nainital: Kumaun University.
Kurazaki, S. (2011). When Diplomacy Works.
Mammadova, S. (2016). The Key Aspects of Ancient Greek Diplomacy. Baku: School of Public and International Affairs.
Marks, S., & Freeman, C. W. (2018, Februari 2). Diplomacy. Diambil kembali dari Encyclopaedia Britannica: https://www.britannica.com/topic/diplomacy
Mattingly, G. (1955). Renaissance Diplomacy. New York: Cosimo Classic Inc.
Richelieu, A. J. (1961). The Political Testament of Cardinal Richelieu: The Significant Chapters and Supporting Selections. Wisconsin: University of Wisconsin Press.


1 komentar:

Genealogi Teori Hubungan Internasional Menurut Steve Smith: 10 Self-Image

                    1.   Teori Internasional vs. Teori Politik Menurut Steve Smith, penjelasan yang paling baik mengenai teori internasio...