Istilah
diplomasi berasal dari bahasa Yunani
Kuno δίπλωμα, yang berarti “dokumen resmi yang menganugerahkan hak
istimewa”. Istilah ini terdiri dari kata diplo
yang berarti “dilipat dua” dan akhiran –ma yang berarti “objek”. Kertas
yang dilipat mengungkapkan hak istimewa berupa izin bepergian—kata ini menunjukkan
dokumen yang dimiliki oleh para pangeran (Marks & Freeman, 2018) . Menurut Henry A.
Kissinger diplomasi dapat dipahami sebagai seni untuk menghubungkan negara yang
satu dengan negara lainnya melalui kesepakatan dan bukan dengan paksaan (Freeman, 2005) . Sejumlah ilmuwan
telah mencoba menelusuri sejarah awal mula diplomasi dipraktikkan guna
mengetahui perkembangan dan pola diplomasi yang komprehensif dalam berbagai
masa. Sering dikatakan bahwa gaya dan peraturan diplomasi yang mengatur praktik
diplomasi hanya dikembangkan setelah kristalisasi sistem negara bangsa. Namun
bertentangan dengan gagasan ini, para ilmuwan telah membuat penelusuran ilmiah
untuk melacak asal-usul praktik diplomasi sebelum peradaban manusia memulai
perjalanannya. Tulisan ini akan memaparkan sejarah diplomasi sejak masa kuno hingga
saat ini, dengan memeriksa pendapat dari para ilmuwan sehingga kita dapat
membandingkan karakteristik diplomasi kuno dan diplomasi modern serta
mengetahui bagaimana diplomasi berevolusi.
1. Diplomasi Kuno
Diplomasi
kuno dapat kita klasifikasikan ke dalam beberapa tempat dan tahap, yaitu
sebagai berikut.
a.
Diplomasi Era Prasejarah
Diplomasi
dan hubungan antar negara memiliki sejarah yang panjang, sebagaimana sejarah
peradaban manusia dan dunia. Dietrich Kappeler dalam tulisannya yang berjudul “The Birth and Evolution of Diplomatic
Culture” mengungkapkan bahwa praktik-praktik diplomasi sederhana telah
berjalan sejak manusia hidup secara berkelompok. Dalam periode awal sejarah,
terdapat kecenderungan dalam hubungan yang dijalin oleh sekelompok manusia yang
tinggal di wilayah yang sama, yaitu bahwa hubungan tersebut dilakukan dalam
rangka perburuan makanan. Hubungan seperti ini sebagian besar bersifat permusuhan
dan mengakibatkan kelompok-kelompok tersebut saling menjauh. Namun karena
populasi manusia semakin meningkat, pertarungan mereka untuk memperebutkan
wilayah menjadi lebih ganas dan lebih sering terjadi. Ketika pertarungan
terjadi, hubungan diplomatik pertama lahir diantara kelompok-kelompok yang
bermusuhan ini yang dilakukan demi menyetujui gencatan senjata dan untuk
memulihkan kekuatan para petarung. Diplomat-diplomat pertama ini telah memiliki
karakteristik tertentu yaitu mereka datang tanpa senjata dan mencoba
menggunakan persuasi demi mendapatkan apa yang mereka inginkan (Kappeler, 2004) .
Ketika
beberapa kelompok manusia mulai menetap, mereka mulai berinteraksi baik dengan
kelompok menetap terdekat lainnya maupun kelompok yang nomaden. Ketika hubungan
yang terjadi tidak melibatkan tindakan kekerasan, kelompok-kelompok ini saling
melakukan pertukaran barang, hewan, dan bahkan tahanan dari pertarungan
sebelumnya. Untuk memungkinkan pertukaran ini berjalan dengan baik, harus ada
suatu perjanjian perdamaian yang disepakati oleh masing-masing pihak. Para
utusan yang aktif dalam hubungan ini perlu memiliki status sosial tertentu dan
memiliki pengetahuan yang diperlukan mengenai isu-isu yang bersangkutan.
Terkadang mereka diharuskan tetap menjadi sandera untuk menjamin pelaksanaan
perjanjian. Seringkali mereka adalah individu yang berhubungan dengan penguasa
kelompok mereka. Sebagai sandera, mereka menjadi akrab dengan budaya kelompok
yang menahan mereka (Kappeler, 2004) .
Pendapat
Kappeler ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Peter Karavites dalam
tulisannya yang berjudul “Diplomatic
Envoys in the Homeric World”. Menurutnya, meskipun teori tentang kedutaan
permanen baru benar-benar diperkenalkan setelah Perjanjian Westphalia (1648 M),
praktik diplomasi telah dilakukan oleh orang-orang di Mesopotamia dan daerah
Pesisir Timur, bangsa Mesir Kuno, bangsa Yunani Kuno, dan bangsa Romawi Kuno.
Bahkan menurutnya, praktik diplomasi juga terjadi secara alami diantara ras
primitif dari kepulauan Pasifik dan di beberapa suku aborigin Australia. Jauh
sebelum adanya Perjanjian Westphalia, perwakilan permanen atau kuasi-permanen
merupakan hal yang tidak asing di beberapa istana Mesopotamia. Zimrilim, raja
Asiria, telah memiliki beberapa koresponden sejenis di Babilonia, sebagaimana
yang dimiliki Hammurabi di Mari (Karavites, 1987) .
b.
Diplomasi Era India Kuno
Diplomasi pada masa India Kuno dapat
kita pelajari dari tulisan Kautilya, penasehat utama dari raja India
Chandragupta Maurya (sekitar 317-293 SM) yang pertama kali menyatukan anak
benua India menjadi sebuah kerajaan. Literatur yang ditulis Kautilya ini
berjudul Arthaśāstra yang diterjemahkan sebagai “Science of Politics”. Dalam Arthaśāstra, Kautilya
menawarkan diskusi yang luas dan benar-benar menarik mengenai perang dan
diplomasi (Boesche, 2003) . Peran penting diplomasi menurut
Kautilya adalah “raja yang memahami
implikasi sejati dari diplomasi menaklukkan seluruh dunia”. Kautilya
percaya bahwa negara-negara bertindak dalam kepentingan politik, ekonomi, dan
militer mereka sendiri sehingga diplomasi akan dipraktekkan selama diplomasi
melayani kepentingan pribadi negara, karena setiap negara bertindak dengan cara
memaksimalkan kekuatan dan kepentingan pribadi. Menurutnya, dunia berada dalam
keadaan di mana sebuah kerajaan sedang berperang atau sedang bersiap untuk
perang dan diplomasi adalah senjata lain yang digunakan dalam peperangan
konstan ini. Dia percaya bahwa diplomasi adalah serangkaian tindakan yang
diambil oleh sebuah kerajaan sehingga memperoleh kekuatan dan akhirnya
menaklukkan negara yang dengannya hubungan diplomatik tercipta. Kautilya juga
percaya bahwa perjanjian harus dibuat sedemikian rupa sehingga raja melayani
kepentingan pribadi kerajaan. Untuk lebih memahami konsep diplomasi Kautilya,
kita harus memahami konsep Mandala mengenai enam jenis kebijakan luar negeri
dan empat solusi (Chandrasekaran, 2006) .
c.
Diplomasi Era Yunani Kuno
Sumber paling awal mengenai
diplomasi Yunani adalah dalam karya Homer yang berjudul “Illiad and Odyssey”. Elemen pertama mengenai urusan antar negara
dapat diamati pada Olimpiade tahun 776 SM. Sejak abad ke-6 SM, Liga Amphictonic
mempertahankan majelis antarnegara bagian dengan hak ekstrateritorial dan
sekretariat permanen. Pada pertengahan abad ke-6 SM, Sparta secara dinamis
mengembangkan aliansi dan telah membentuk Liga Peloponnesia sejak 500 SM.
Selama perang Yunani-Persia, Athena melakukan Liga Delian pada abad ke 5 SM.
Sementara itu sebagai semacam institusi diplomatik, terdapat tiga perwakilan di
Yunani, yaitu (Mammadova, 2016) :
1. angelos atau presbys, adalah utusan dan penatua yang dikirimkan untuk misi singkat dan spesifik;
2. keryx, adalah pembawa berita yang memiliki hak khusus atas keselamatan pribadi; dan
3. proxenos, adalah penduduk Yunani resmi maupun tidak resmi.
1. angelos atau presbys, adalah utusan dan penatua yang dikirimkan untuk misi singkat dan spesifik;
2. keryx, adalah pembawa berita yang memiliki hak khusus atas keselamatan pribadi; dan
3. proxenos, adalah penduduk Yunani resmi maupun tidak resmi.
d.
Diplomasi Era Romawi
Diplomasi di Era Romawi banyak
dipengaruhi oleh diplomasi Yunani Kuno. Pada masa Romawi, penggunaan diplomasi
sebagian besar bersifat legal dan komersial, salah satunya adalah penggunaan
jalur diplomatik dalam mempertahankan hubungan dagang di dalam suatu provinsi.
Orang Romawi tidak banyak menggunakan praktik diplomasi untuk tujuan
administratif. Sebaliknya, mereka banyak berinvestasi dalam membangun
kapabilitas militer dan keahlian militer mereka. Perwakilan diplomatik Romawi
disebut Legatus, yang ditunjuk dari dan oleh Senat. Legatus memiliki beberapa kewenangan
untuk bebas bertindak. Kebutuhan seorang utusan sebagian besar dipenuhi oleh
komandan militer dan gubernur provinsi yang dihadiri (Kurazaki, 2011) .
e.
Diplomasi Era Bizantium (Romawi Timur)
Setelah
keruntuhan Kekaisaran Romawi pada 476 SM, Kekaisaran Bizantium muncul dengan
praktik diplomasi yang merajalela. Kekaisaran Bizantium tidak memiliki
kapabilitas militer yang kuat namun hal ini justru mendorong kekaisaran ini
untuk menjaga hubungan dengan kerajaan-kerajaan tetangganya melalui cara-cara
lain. Karena itu, diplomasi dilembagakan oleh Bizantium (Chaniotis & Ducrey, 2002) . Kekaisaran ini
memiliki beberapa cara untuk mencapai kesuksesan dalam membangun hubungan
diplomatik. Cara pertama adalah dengan memanfaatkan rasa kekaguman. Tujuannya
adalah untuk mengesankan utusan negara tetangga yang berkunjung dengan tampilan
“superioritas absolut, kemewahan, dan kekayaan”. Sebagai kekaisaran Kristen,
metode diplomasi kedua yang dilakukan oleh Bizantium adalah dengan
mengeksploitasi penyuapan secara maksimal demi memperoleh keamanan dari
kerajaan-kerajaan tetangganya yang kuat dan sebagian besar merupakan pengikut
agama Islam. Penyuapan ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian sehingga tidak
terlihat secara jelas, melalui upeti atau dengan memberikan persediaan
perdagangan. Jika dua metode diplomatik ini gagal mencapai tujuan yang diinginkan,
metode lain yang digunakan adalah melalui jalur perkawinan. Praktik ini
diperkuat dengan sarana mas kawin dan hadiah yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari upacara pernikahan. Metode terakhir dari diplomasi Bizantium
adalah kebijakan memisahkan tetangga dan mengadu-domba mereka. Untuk mencapai
tujuan ini secara efektif, praktik pengumpulan informasi merupakan bagian
penting dari administrasi Bizantium. Karena itu, terdapat bukti nyata intelijen
di arena diplomatik. Para pembesar Bizantium tidak hanya dikirimkan untuk
mewakili kerajaan mereka tetapi juga untuk mengumpulkan cukup informasi. Mereka
memiliki badan yang dinamakan Skrinion
Barbaron yang berfungsi sebagai biro hubungan luar negeri yang
bertanggungjawab untuk mengumpulkan intelijen. Badan ini bisa dianggap sebagai
salah satu badan intelijen pertama di dunia. Merangsang permusuhan antara
negara-negara asing adalah sarana mengulur-ulur waktu yang akan membuat
Bizantium memiliki lebih banyak waktu untuk mencegah perang. Metode-metode
diplomasi ini berkontribusi pada umur panjang Kekaisaran Bizantium hingga
jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 ke tangan Turki Ottoman. Metode
tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh city-state Italia selama periode Renaissance (Hamilton & Langhorne, 2011) .
f.
Diplomasi di Negara-Kota Italia
Kemunduran
Kekaisaran Bizantium berarti meningkatnya ancaman Turki Utsmani ke arah barat.
Sementara itu disisi lain Dinasti Valois yang berhasil menyatukan Prancis
tengah berusaha memperluas wilayahnya dengan menyerang Italia. Ancaman-ancaman
eksternal dan kesadaran akan militer yang lemah memaksa negara-negara kota
Italia yang awalnya saling berkelahi satu sama lain mulai mencari keamanan
bersama dengan menciptakan aliansi dengan memperkuat hubungan mereka melalui
saluran diplomatik, yang melahirkan penandatanganan Perjanjian Lodi yang
membahas mengenai konsep non-agresi antara satu sama lain. Perwakilan dari
berbagai negara-kota ditempatkan di istana raja di ibukota. Praktek ini muncul
akibat dua alasan utama. Pertama, ada sedikit kepercayaan di dalam negara-negara
kota Italia karena sebelum adanya Perjanjian Lodi mereka saling permusuhan.
Oleh karena itu, membangun kepercayaan terhadap kerja sama dan koordinasi lebih
lanjut merupakan suatu kebutuhan awal yang harus digenapi. Kedua, keseimbangan
kekuasaan sangat rapuh dan sangat bergantung pada intelijen yang dikumpulkan
untuk mempersiapkan resiko yang mungkin terjadi jika ada negara kota yang
membelot dari perjanjian tersebut (Kurazaki, 2011) . Oleh karena itu dibutuhkan adanya duta
besar residen untuk memperingatkan raja kembali ke negara-kotanya. Kebutuhan
akan duta besar residen menghasilkan adanya dua kedutaan, yaitu kedutaan
permanen dan duta besar residen yang melenbagakan praktik diplomasi di bagian
utara Italia. Pada saat Perang Tiga Puluh Tahun pecah, seluruh Eropa telah
mengadopsi sistem kedutaan permanen dan duta besar residen. Kedamaian ini
ternyata hanya bertahan hingga datangnya invasi Charles VIII dari Perancis pada
1494 M. Namun meskipun begitu, serangan ini telah mendorong negara-negara Eropa
lainnya untuk mengadopsi konsep diplomasi Italia (Mattingly, 1955) .
g.
Praktik Diplomasi di Abad Ke-16 hingga abad 20 M
Praktik
diplomasi yang intensif dan perbaikan di bidang diplomasi berlangsung pada
periode ini dikarenakan adanya Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648). Semakin
banyak negara bagian yang menjadi mandiri dan berdaulat telah membentuk
kedutaan permanen dan duta besar residen. Oleh karena itu, sebuah kebutuhan
dirasakan untuk membentuk semacam kekebalan diplomatik untuk membebaskan duta
besar dari perlakuan sewenang-wenang oleh para raja penerima. Ditetapkan juga
bahwa dikarenakan para duta besar mewakili raja itu sendiri, maka mereka harus
diperlakukan secara setara (Ahonen-Ström & Andgren, 2006) . Tokoh yang
prestisius dalam diplomasi pada periode ini adalah Cardinal Richelieu yang pada
tahun 1624 mendirikan Kementerian Urusan Luar Negeri pertama yang memusatkan
semua urusan luar negeri di bawah satu departemen terpisah (Islam, 2005) .
Dia juga berjasa dalam memberikan dua inovasi utama dalam praktek diplomasi.
Kita mungkin mengingat pendapat Kissinger yang mendefinisikan negosiasi sebagai
praktik yang melibatkan “konsesi perdagangan” (Kissinger, 1994) . Ternyata praktik ini diperkenalkan
pertama kali oleh Richelieu yang menganggap konsesi dan kontra konsesi
merupakan bagian negosiasi yang sangat signifikan. Dia juga menekankan bahwa
perdagangan konsesi ini perlu dipraktekkan secara pribadi karena menjadi tidak
praktis saat dipublikasikan. Oleh karena itu, rincian mengenai negosiasi perlu
dijaga kerahasiaannya (Kurazaki, 2011) . Inovasi Richelieu yang lainnya adalah
penekanannya pada aspek kontinuitas diplomasi, yang menyatakan bahwa upaya
diplomatik akan lebih bermanfaat jika berjalan secara terus-menerus baik di
masa perang maupun damai (Richelieu, 1961) . Peristiwa penting lainnya yang
menandai perkembangan diplomasi pada periode ini adalah Perjanjian Westphalia
(1648), Kongres Wina, pembentukan Liga Bangsa-Bangsa, dan Perang Dingin.
2. Diplomasi Modern
Setelah
berakhirnya Perang Dunia Kedua, Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan pada tahun
1945. Namun karena adanya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet,
PBB seringkali mengalami keterbatasan dalam menjalankan tugasnya. Kekuatan veto
dieksekusi secara ekstensif oleh satu sama lain. Dengan runtuhnya Uni Soviet
pada tahun 1991, segala sesuatunya mulai berjalan lebih lancar dari sebelumnya.
Periode tersebut bisa dianggap sebagai periode kemunculan diplomasi modern.
Pada diplomasi modern, telah terjadi pergeseran fokus diplomasi dari yang awalnya
bersifat politik menjadi ekonomi, menyebabkan para duta besar harus memasukkan
hubungan komersial dan ekonomi di dalam lingkup kerja mereka. Masuknya aspek
ekonomi ke dalam diplomasi dilatarbelakangi oleh keberhasilan hubungan ekonomi
dalam mengurangi ketegangan antara negara-bangsa secara efektif. Karena itu,
aspek ekonomi suatu bangsa juga memainkan peran utama dalam diplomasi berbasis
negara. Disamping itu, penugasan duta besar tertentu juga memegang peranan
penting. Ketika negara A menugaskan seorang duta besar untuk negara B, perlu
dicatat jika duta besar tersebut menjalankan kekuasaan atas pemimpin negara A.
Dalam istilah yang lebih sederhana, pilihan duta besar yang ditugaskan oleh
negara untuk negara lain menunjukkan pentingnya hubungan dengan negara
tersebut. Sehingga proyeksi kebijakan luar negeri suatu negara tidak lagi
terbatas pada Kementerian Luar Negeri. Akhir-akhir ini, kepala pemerintahan dan
juga kepala negara telah secara aktif berpartisipasi di dalam diplomasi.
Perubahan ini adalah apa yang saat ini kita kenal dengan istilah diplomasi
publik (Islam, 2005) .
Adanya
LBB dan PBB juga membawa pola baru dalam hubungan diplomatik yang awalnya hanya
bersifat bilateral menjadi bersifat multilateral. Pendekatan multilateral ini
semakin meningkat pasca 1945 (KCMG, 2009) .
Diplomasi modern juga mengalami perubahan dari segi aktor. Seiring munculnya
aktor-aktor non-negara yang berperan penting dalam sistem internasional, saat
ini diplomasi tidak hanya merupakan otoritas pemerintah pusat. Diplomasi juga
melibatkan lebih banyak aktor seperti pemerintah daerah (paradiplomasi), warga
negara (diplomasi publik), dll.
Teknologi informasi yang merupakan
fitur abad ke-21 juga membawa perubahan dalam karakteristik diplomasi ke dalam
komunikasi modern. Saat ini, pengoperasian sirkulasi informasi dan
aksesibilitasnya mengubah dinamika pekerjaan diplomatik yang memerlukan reaksi
lebih cepat dan prinsip pemilihan informasi lainnya. Selain itu, agenda abad
ke-21 mewajibkan para ahli di berbagai bidang: masalah energi, lingkungan,
keuangan, ekonomi, hak asasi manusia, masalah kesehatan, teknologi informasi
dan komunikasi, kejahatan terorganisir, masalah keamanan dan terorisme.
Transformasi Diplomasi di abad ke-21 ditandai dengan pesatnya kerjasama dan
koordinasi antar institusi dalam memecahkan berbagai pertanyaan. Dalam konteks
UE, misalnya, ini adalah pertanyaan tentang pengembangan European External Action Service (EEAS) yang akan mampu memastikan
penyampaian kebijakan yang efektif dan efisien (Klavins, 2011) .
Banyak fitur diplomasi yang
disebutkan di atas sesuai dengan tipologi Graham Evans dan Jeffrey Newnham.
Menggambarkan perubahan diplomasi di abad 21, para penulis ini memperhatikan
transformasi dalam mekanisme diplomasi dan diplomat. Para penulis, misalnya,
menunjukkan perubahan berikut: dialog diplomatik yang diperluas; perubahan
dalam penekanan—perhatian lebih untuk diplomasi multilateral; sejumlah besar
ahli dan spesialis yang terlibat; semakin pentingnya media massa, pelaku
masyarakat internasional dan aktor nonpemerintah. Hal ini dipengaruhi oleh
proses perubahan terus-menerus. Seiring perubahan dunia begitu juga melakukan
diplomasi. Oleh karena itu, seperti yang Brian Hocking tulis, "Diplomasi merespons, seperti sebelumnya,
berubah dalam karakter negara dan masyarakat" (Klavins, 2011) .
Sumber:
Ahonen-Ström, K., & Andgren, P. (2006). Changing Diplomacy:
Actors or Structures? Lund: Lund University.
Boesche, R. (2003). Kautilya’s
Arthasastra on War and Diplomacy in Ancient India. The Journal of Military
History Volume 67 Number 1, 9-37.
Chandrasekaran, P. (2006). Kautilya:
Politics, Ethics And Statecraft.
Chaniotis, A., & Ducrey, P.
(2002). Army and Power in the Ancient World. Stuttgart: Franz Steiner
Verlag.
Freeman, C. W. (2005). The
Diplomat's Dictionary. Washington DC: US Institute of Peace Press.
Hamilton, K., & Langhorne, R.
(2011). The Practice of Diplomacy: Its Evolution, Theory, and Administration.
New York: Routledge.
Hocking, B., Melissen, J., Riordan,
S., & Sharp, P. (2012). Futures for Diplomacy: Integrative Diplomacy
in the 21st Century. Netherlands Institute of International Relations
‘Clingendael’.
Islam, S. M. (2005). Changing Nature and
Agenda of Diplomacy: A Critical Analysis. Assian Affairs Vol.27 No.1,
56-71.
Kappeler, D. (2004). The Birth and
Evolution of Diplomatic Culture. Dalam H. Slavik, Intercultural
Communication and Diplomacy (hal. 353-359). Jenewa: Diplofoundation.
Karavites, P. (1987). Diplomatic
Envoys in the Homeric World.
KCMG, S. I. (2009). The Development
of Modern Diplomacy . London: Chatham House.
Kissinger, H. A. (1994). Diplomacy.
USA: Simon and Schuster Inc.
Klavins, D. (2011). Understanding the
Essence of Modern Diplomacy. The ICD Annual Academic Conference on
Cultural Diplomacy 2011: Cultural Diplomacy and International Relations; New
Actors; New Initiatives; New Targets (hal. 1-7). Berlin: European Social
Fund.
Kumar, M. (t.thn.). Relevance of
Ancient Indian Diplomatic Styles in Contemporary Era of Globalization.
Nainital: Kumaun University.
Kurazaki, S. (2011). When Diplomacy
Works.
Mammadova, S. (2016). The Key
Aspects of Ancient Greek Diplomacy. Baku: School of Public and
International Affairs.
Marks, S., & Freeman, C. W. (2018,
Februari 2). Diplomacy. Diambil kembali dari Encyclopaedia Britannica:
https://www.britannica.com/topic/diplomacy
Mattingly, G. (1955). Renaissance
Diplomacy. New York: Cosimo Classic Inc.
Richelieu, A. J. (1961). The
Political Testament of Cardinal Richelieu: The Significant Chapters and
Supporting Selections. Wisconsin: University of Wisconsin Press.
Informasinya bermanfaat sekalii terimakasih 👍👍👍
BalasHapus