Senin, 02 September 2019

Genealogi Teori Hubungan Internasional Menurut Steve Smith: 10 Self-Image

                   1.   Teori Internasional vs. Teori Politik
Menurut Steve Smith, penjelasan yang paling baik mengenai teori internasional terdapat dalam paper yang ditulis oleh Martin Wight pada tahun 1966. Dalam tulisan tersebut, Wight mendefinisikan teori internasional sebagai sebuah tradisi yang didalamnya kita melakukan spekulasi mengenai masyarakat negara, atau masyarakat bangsa (the family of nation), atau masyarakat internasional. Teori internasional berbeda dengan teori politik yang lebih menaruh perhatian pada ‘spekulasi tentang negara (state)’. Argumen Wight ini bukanlah sebuah penolakan terhadap teori internasional, melainkan bahwa tidak ada satu pun bangunan dari teori internasional yang berusaha menyaingi pencapaian yang diperoleh teori politik. Hal ini dikarenakan tidak ada bangun teori internasional sebelum abad keduapuluh yang sesuai dengan pekerjaan para ahli teori politik dan dikarenakan teori internasional yang ada telah dicap sebagai teori yang ‘miskin akan intelektual dan moral’. Selain itu, Wight juga berpendapat bahwa teori internasional tidak cocok bagi era yang didominasi oleh kepercayaan terhadap kemajuan (progress). Namun argumen Wight yang paling utama adalah bahwa pembicaraan mengenai teori internasional memerlukan penggunaan bahasa teori politik domestik, dan bahwa hal ini tidaklah tepat bagi dunia di mana survival menjadi perhatian utama. Sebagai gantinya, Wight berpendapat bahwa tidak ada teori internasional yang terlepas dari filosofi sejarah. Oleh karena itu menurutnya, sejarawan merupakan sosok yang dapat memberikan penjelasan terbaik mengenai ‘sifat alamiah dari kebijakan luar negeri dan kinerja sistem negara’.
Menurut Smith sendiri, penjelasan Wight bermasalah karena ia menyebabkan terciptanya dikotomi yang salah antara teori politik dan teori internasional. Smith mengutip beberapa kritik terhadap argumen Wight.  Roy Jones mengkritik argumen Wight yang menolak keberadaan teori internasional. Menurut Jones, argumen Wight seharusnya diperbaiki menjadi ‘dalam English School tidak ada teori internasional karena English School telah memisahkan dirinya dari tema klasik yang ada dalam pemikiran politik’. Sementara Chris Brown menganggap bahwa permasalahan dalam teori Wight terletak pada terlalu sempitnya definisi teori politik yang digunakan oleh Wight, yang hanya berfokus pada negara.

2.      Pemikiran Komunitarian vs. Pemikiran Kosmopolitan
Menurut Steve Smith, kategorisasi komunitarian dan kosmopolitan mengacu kepada perdebatan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan teori normatif. Meskipun istilah teori normatif ini juga menyesatkan karena mengimplikasikan adanya teori non-normatif. Perbedaan mendasar antara komunitarian dan kosmopolitan adalah sebagai berikut: teori komunitarian berpendapat bahwa komunitas politik adalah pemegang hak dan kewajiban dalam masyarakat internasional, sementara teori kosmopolitan berpendapat bahwa argumen moral harus didasarkan pada kemanusiaan secara keseluruhan maupun pada individu, dan bukan pada komunitas. Perdebatan antara kedua pemikiran ini telah membuka ruang yang cukup luas bagi perkembangan teori internasional normatif dan untuk menghubungkan teori internasional dengan debat-debat sejenis di dalam disiplin lainnya, khususnya filsafat moral, dan teori sosio-politik.
Namun permasalahan utama dengan pengategorian ini adalah bahwa sebagian besar teori internasional telah berjalan seolah kategorisasi ini tidak ada. Sejak awal, tujuan utama disiplin HI adalah untuk menciptakan teori politik internasional yang otonom. Oleh karena itu, internasional harus diperlakukan secara terpisah dari pokok-pokok teori politik dan sosial. Perdebatan kosmopolitan-komunitarian juga menemui kesulitan karena perdebatan ini memusatkan perhatian pada analisis moral dan etika, namun berfokus pada pendekatan saintifik dan menaruh perhatian pada relevansi kebijakan. Sehingga dikhawatirkan perdebatan ini akan menghasilkan teori internasional yang termarjinalisasi. Kekhawatiran lainnya adalah bahwa perdebatan ini terlalu dangkal karena didasarkan pada perdebatan dalam filsafat dan teori politik yang mana keduanya juga menerima banyak kritik. Kedua pemikiran ini sulit atau mungkin mustahil untuk menuju kesepakatan, karena tidak ada dasar independen untuk menyelesaikan perbedaan. Terakhir, kedua pemikiran ini masing-masing memiliki kelemahan karena pada intinya, perdebatan mereka berada di dalam kerangka istilah yang merupakan konstruksi sosial, sehingga terbuka bagi munculnya pertanyaan-pertanyaan.

3.      3Rs
Martin Wight membuat kategorisasi yang sangat berpengaruh dalam perkembangan teori internasional Engslih School. Wight membagi teori internasional ke dalam tiga tradisi, yang mana pembagian ini menjadi tradisi kategorisasi yang dominan diantara mereka yang bekerja pada persimpangan antara teori internasional dan teori politik. Pembagian Wight ini adalah sebagai berikut: realis, rasionalis, dan revolusionis, atau Machiavellian, Grotian, dan Kantian. Realis memandang politik internasional sebagai sesuatu yang anarki, yang mana selalu berpotensi bagi timbulnya perang antar satu sama lain. Rasionalis memandang politik internasional sebagai perpaduan antara domain konflik dan kerjasama, di mana terdapat sekelompok negara dengan peraturan dan perilaku yang dapat diamati. Revolusionis memandang politik internasional benar-benar tentang kemanusiaan, civitas maxima, yang melampaui mayarakat internasional yang terdiri dari negara-negara.
Menurut Smith, terdapat tiga masalah utama dalam kategorisasi ini. Yang pertama adalah terdapat cara lain untuk membagi teori politik internasional. Michael Donelan (1990) misalnya, membagi teori politik internasional ke dalam lima bagian yaitu hukum alami, realisme, fideisme, rasionalisme, dan historisisme, sementara Nardin dan Mapel (1992) menawarkan dua belas cara untuk memikirkan etika internasional. Hal ini bukan hanya perihal semantik, namun merupakan pertanyaan mengenai apa yang menyebabkan adanya pemisahan posisi. Masalah kedua adalah banyak pakar, dan tentunya sebagian besar pemikir politik, tidak mudah untuk mengalami kecocokan dengan suatu tradisi. Tentu saja ini merupakan masalah yang harus dihadapi oleh kategorisasi manapun, namun kasus Wight secara khusus menandai hal ini. Masalah terakhir adalah apakah perdebatan antara ketiga tradisi ini bisa diselesaikan atau apakah kategorisasi ini relativistik. Dunne berpendapat bahwa ketiga tradisi ini sebaiknya dilihat relativistik secara historis dibandingkan secara etik, dalam arti bahwa setiap tradisi cenderung menjadi tradisi yang dominan pada masa yang berbeda dalam praktik sejarah, namun masalahnya tetaplah bahwa masing-masing tradisi memiliki kriteria evaluatif tersendiri yang berbeda satu sama lain, dan tidak adanya kriteria yag disetujui oleh ketiga tradisi tersebut, sehingga tidak ada dasar untuk mengevaluasi klaim kebenaran diluar ketiga tradisi tersebut.

4.      Tiga Gelombang / Perdebatan Besar
Perdebatan ini didasarkan pada pandangan kronologis terhadap perkembangan/kemajuan. Beranjak dari asumsi hubungan internasional sebagai disiplin yang terpisah yang didirikan oleh David Davies dari Woodrow Wilson Chair di Aberystwyth pada 1919, pandangan ini membahas tiga tahap utama perkembangan teori internasional. Sebagaimana yang diucapkan oleh John Vasquez: ‘penyelidikan terhadap sejarah hubungan internasional abad keduapuluh dapat dibagi secara kasar ke dalam tiga tahap: tahap idealis, tradisi realis, dan revolusi “behavioral”’. Hedley Bull dalam melihat perkembangan teori internasional juga mengadopsi kategorisasi yang sama, dengan tanggal-tanggal kasar untuk menggambarkan periode dominasi: ‘idealis atau doktrin progressif, yang, mendominasi pada tahun 1920an hingga awal 1930an, realis atau teori konservatif yang berkembang sebagai reaksi terhadap idealis pada akhir tahun 1930an hingga 1940an, dan teori saintifik sosial yang dominan pada tahun 1950an hingga 1960an, yang berasal dari ketidakpuasan terhadap metodologi yang mendasari idealis dan realis’.
Jika idealisme, realisme, dan behavioralisme sukses mendominasi disiplin HI, maka perhatian para penstudi berfokus pada periode transisi yang menurut literatur mengacu pada dua perdebatan besar, yaitu perdebatan antara idealisme dan realisme di akhir tahun 1930an hingga awal tahun 1940an dan perdebatan antara realisme dan behavioralisme pada akhir tahun 1950an hingga 1960an. Beberapa penstudi juga berpendapat bahwa terdapat perdebatan besar yang ketiga, namun terdapat perbedaan mengenai protagonis pada perdebatan ketiga ini. Maghroor dan Ramberg (1982) mengemukakan bahwa perdebatan ketiga melibatkan realis state-centric dan transnasionalis, sementara Yosef Lapid (1989) melihat bahwa perdebatan ketiga ini terjadi antara positivisme dan post-positivisme.
Bagi Arendt Lijphart teori tentang tiga gelombang dan dua perdebatan besar ini dapat dipahami dengan baik sebagai contoh ilmu sosial menurut konsep paradigma Thomas Kuhn. Lipjhart berpendapat bahwa perdebatan besar yang kedua jauh lebih penting dibandingkan perdebatan pertama karena perdebatan ini melibatkan perselisihan yang lebih fundamental dibandingkan perdebatan realisme-idealisme. Baik realisme dan idealisme merupakan bagian dari paradigma tradisional yang ditentang oleh paradigma saintifik dalam perdebatan kedua. Oleh karena itu, periode kronologis ketika idealisme, realisme, dan behavioralisme mendominasi merupakan periode normal science Kuhn, dengan perdebatan besar yang mewakili masa krisis paradigma.
Menurut Smith, terdapat sejumlah masalah dalam kategorisasi ini. Masalah pertama terkait dengan penggunaan konsep paradigma Kuhn untuk menjelaskan tiga gelombang dan dua perdebatan besar ini yang menurut Smith terlalu umum karena digunakan untuk menjelaskan teori internasional lainnya. Kesulitan utama dalam mengaplikasikan teori Kuhn ini adalah bahwa para pakar teori internasional menggunakan teori Kuhn seolah-olah teori tersebut tidak bermasalah, padahal pada kenyataannya, menurut Smith, salah satu masalah dari teori Kuhn adalah definisi paradigma yang diungkapkan Kuhn tidaklah tepat. Permasalahan kedua terkait penggunaan teori Kuhn adalah Kuhn sendiri mengungkapkan bahwa teorinya hanya dapat diaplikasikan kepada ilmu yang telah mapan, dan bukan bagi proto-science ataupun seni dan ilmu sosial. Ketiga, terdapat ketidakpastian mengenai posisi Kuhn dalam memandang realitas, apakah Kuhn seorang relativis atau bukan, pertanyaan ini belum mendapatkan jawaban yang pasti. 
Selain masalah yang berkaitan dengan penggunaan teori Kuhn, terdapat juga beberapa masalah lain. Masalah pertama terletak pada konsep kronologi yang digunakan untuk menjelaskan tiga gelombang dan dua perdebatan besar. Menurut Smith, teori internasional tidaklah bergerak secara kronologis melalui tiga tahapan, dan penggambaran ini terlalu menyederhanakan perkembangan teori internasional. Masalah kedua adalah bahwa penggambaran ini menganggap paradigma sebagai konsep yang menyatu, sehingga meremehkan kompleksitas yang ada. Teori ini melihat seolah satu tradisi kehilangan pengaruhnya seiring masa dan kemudian digantikan oleh tradisi lain, sementara pada kenyataannya, setiap tradisi masih memiliki pengaruh yang kuat hingga saat ini. Terakhir, Smith juga mengkritik bahwa istilah ‘debat’ yang dilekatkan kepada tradisi-tradisi tersebut adalah tindakan terlalu membesar-besarkan. Setiap perdebatan ini, menurut Smith, sebenarnya bukanlah debat melainkan serangkaian pertanyaan mengenai keyakinan dengan faktor politis atau sosiologis tertentu yang pada akhirnya menentukan suara mana yang paling didengar.

5.      Perdebatan Antar Paradigma
Kategorisasi ini berpengaruh sejak pertengahan 1980an, dan pertama kali diadopsi oleh Michael Banks pada 1984 yang mengacu pada situasi akibat terjadinya ‘revolusi’ behavioral. Kategorisasi ini menggambarkan keadaan teori internasional sejak awal 1980an hingga seterusnya. Sementara teori internasional secara tradisional ditandai dengan kesuksesan paradigma dominan (idealisme/realisme/behaviouralisme), kondisi pada awal tahun 1980an tidak didominasi oleh pendekatan manapun. Terdapat tiga cerita alternatif yang masing-masing menawarkan cerita mengenai politik internasional yang relatif koheren dan logis. Ketiga paradigma utama ini adalah realisme/neo-realisme, liberalisme/globalisme/pluralisme, dan neo-Marxisme/strukturalisme.
Ketiga paradigma ini masing-masing menawarkan pandangan terhadap aspek politik internasional yang berbeda. Realisme berurusan dengan perang dan damai, liberalisme berurusan dengan manajemen rezim internasional yang di dalamnya terdapat aktor negara dan non-negara yang terlibat secara aktif, dan neo-Marxisme berurusan dengan isu-isu pembangunan dan kemiskinan global. Keunggulan dalam menggunakan kategorisasi ini adalah menawarkan tiga interpretasi terhadap hubungan internasional dan mengundang perdebatan diantara ketiganya.
Permasalahan pertama yang muncul dari kategorisasi ini menurut Smith adalah pembagian antara ketiga paradigma ini dapat dipertanyakan. Menurutnya ketiga paradigma ini tidak terlalu berbeda. Perbedaan justru ditemukan di dalam masing-masing paradigma itu sendiri. Masalah yang kedua adalah pengkategorisasian teori internasional ke dalam tiga bagian telah mengabaikan proporsi yang besar dari aktivitas politik dan ekonomi internasional, sehingga membatasi ruang lingkup teori internasional dan membungkam interpretasi lainnya. Masalah ketiga, gagasan ‘antar-paradigma’ yang diusung oleh kategorisasi ini menyesatkan, karena hal ini mengimplikasikan bahwa ketiga paradigma dapat saling berkonfrontasi satu sama lain untuk menjelaskan hubungan internasional. Masalah ini kemudian mengantarkan kepada masalah selanjutnya, yaitu karakterisasi dalam menjelaskan ‘debat’ sebagai fitur untuk mendefinisikan teori internasional menjadi sangat konservatif dan terbatas. Akibatnya adalah setiap paradigma akan sibuk dengan agenda penelitiannya sendiri dan meninggalkan paradigma lainnya. Hal ini menjadi cara yang efektif untuk memarjinalkan suara-suara ketidaksepakatan.
Masalah yang kelima adalah gagasan mengenai perdebatan antar-paradigma menyembunyikan fakta bahwa sebagian besar teori internasional adalah realis. Terakhir, gagasan mengenai perdebatan antar paradigma meliputi komplikasi tersembunyi atas pertanyaan apakah ketiga paradigma ini merupakan tiga aspek yang berbeda dari dunia yang sama atau apakah ketiganya memandang dunia yang berbeda.

6.      Negara-Sentrisme vs. Transnasionalisme
Menurut Maghroori dan Ramberg, perdebatan antara negara-sentris dan transnasionalis meliputi perdebatan besar ketiga dalam sejarah teori internasional. Sederhananya, perselisihan terjadi antara negara-sentris dan globalis atau trans-nasionalis mengenai peran negara dalam politik internasional. Pandangan ini berakar pada periode waktu serta lokasi politik dan geografik tertentu. Kelemahan utama dalam kategorisasi ini, menurut Smith, adalah bahwa kategorisasi ini mengarah pada fokus atas ukuran kuantitatif dari aktivitas aktor. Masalah lainnya adalah literatur transnasionalis mengadopsi perspektif spesifik mengenai ekonomi politik. Sebagaimana yang ditunjukkan Robert Giplin terdapat setidaknya tiga cara utama untuk menjelaskan perilaku ekonomi politik internasional. Dengan ini berarti transnasionalis berada di dalam perspektif liberal. Masalahnya, tentu saja, dua penjelasan lain (nasionalis dan Marxis) menawarkan kritik yang kuat terhadap pandangan ekonomi politik liberal.

7.      Neo-realisme dan Neo-liberalisme
Karakterisasi teori internasional ini merupakan ronde terakhir dari perdebatan yang tengah berlangsung. Karakterisasi ini berasal dari debat antara negara-sentrisme dan transnasionalisme, namun lebih banyak berhubungan dengan debat antara paradigma pluralis dan neo-realis pada tahun 1980an. Dalam banyak hal, debat ini merupakan yang paling signifikan saat ini dalam teori internasional arus utama di Amerika Serikat. Menurut David Baldwin (1993), terdapat enam poin yang diperselisihkan dalam debat ini. Poin yang pertama menyangkut sifat dan konsekuensi anarki, neo-realis memberikan perhatian yang lebih terhadap keamanan fisik sebagai sumber motivasi bagi tindakan negara dibandingkan neo-liberal. Kedua, neo-realis berpendapat bahwa kerjasama internasional lebih sulit untuk dicapai dibandingkan neo-liberal. Ketiga, neo-realis menekankan keutamaan relative gains bagi para pembuat keputusan dalam menghadapi kerjasama internasional, sementara neo-liberal menekankan pentingnya absolute gains. Keempat, neo-realis cenderung berurusan dengan isu-isu keamanan nasional, sementara neo-liberal cenderung menaruh perhatian pada ekonomi politik, yang menyebabkan masing-masing paradigma memiliki pandangan yang berbeda terhadap prospek kerjasama. Kelima, neo-realis lebih berkonsentrasi pada kapabilitas dibandingkan maksud/tujuan, sementara neo-liberal lebih berkonsentrasi pada maksud/tujuan dan persepsi. Terakhir, sementara neo-liberal memandang institusi dapat mengurangi anarki internasional neo-realis meragukan hal tersebut.
Menurut Smith, terdapat beberapa batasan serius dari pandangan ini. Batasan yang utama adalah bahwa kedua paradigma ini memiliki pandangan yang sangat sempit terhadap topik dalam perdebatan teori internasional. Keduanya sama-sama memiliki definisi yang dangkal mengenai isu-isu utama dalam teori internasional. Selain itu, kedua paradigma ini sangatlah mirip, jika kita melihatnya dari kedekatan keduanya dalam posisi mereka terhadap enam poin Baldwin.

8.      Perdebatan Post-Positivis
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah serangan yang kuat telah ditujukan oleh berbagai penstudi dari berbagai kelompok. Bagi Yosef Lapid, hal ini merupakan tantangan post-positivis terhadap dominansi realis atas teori internasional. Terdapat empat kelompok utama yang terlibat dalam tantangan ini. Tantangan pertama datang dari Teori Kritis yang berfokus pada karya Robert Cox (1981, 1987), Mark Hoffman (1987) dan Andrew Linklater (1982, 1990, 1992). Bagi teori kritis, pengetahuan tentang dunia selalu dipahami dalam konteks kepentingan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Frankfurt School, terutama Jurgen Habermas. Pengetahuan tidaklah netral, sebagaimana yang diungkapkan oleh positivis. Bagi teori kritis, pemecahan masalah ala positivisme perlu digantikan oleh teori kritis, yang menyadari kepentingan politik dari apa yang direpresentasikannya, dan dengan komitmen yang terbuka bagi emansipasi.
Aliran pemikiran yang kedua berkembang dari keprihatinan terhadap terjadinya tumpang tindih antara sosiologi dan hubungan internasional di bawah judul umum sosiologi historis. Aliran ini merupakan pengelompokan yang luas dari penelitian historis Michael Mann (1986, 1993) dan Charles Tilly (1975, 1990) hingga studi spesifik mengenai revolusi sosial dari Theda Skocpol (1979). Poin dari pemikiran ini adalah bahwa sosiologi historis menunjukkan bahwa negara, merupakan produk dari interaksi antara kekuatan internal dan pengaturan eksternal. Kelompok ini merupakan kelompok yang kurang mencerminkan post-positivis jika dibandingkan dengan kelompok lainnya, karena kelompok ini menggunakan metode yang sama dan bergantung pada asumsi yang sama dengan, contohnya, perdebatan antar-paradigma. Penemuannya, bagaimanapun, mewakili rongrongan signifikan terhadap neo-realisme.
Kelompok yang ketiga meliputi para penulis feminis. Kelompok ini terdiri dari kategori yang sangat luas dari berbagai tema dan asumsi, namun perhatian utamanya adalah pada konstruksi gender. Karya yang dihasilkan oleh penulis-penulis hubungan internasional feminis terentang dari mereka yang menaruh perhatian pada isu seputar perempuan, melalui ketertarikannya dengan struktur yang didominasi laki-laki, hingga para penulis yang membahas mengenai sifat alamiah dari identitas dan gender. Pada intinya, setiap penulis menantang asumsi sifat alamiah teori internasional yang genderless dan menunjukkan bagaimana asumsi tentang peran gender dan bahkan pengetahuan yang tergenderkan, melintasi teori internasional.
Kelompok terakhir adalah para penulis yang menaruh perhatian pada perkembangan penafsiran hubungan internasional post-modern. Dengan membawa semangat dari Foucault, Derrida, Nietzsche, Heidegger dan Virilio, teoretis posmodern internasional menyerang gagasan tentang realitas, atau kebenaran, atau struktur atau identitas yang utama dalam teori internasional.
Kesamaan dari keempat kelompok ini terletak pada komitmen mereka untuk melepaskan teori internasional dari asumsi positivisme dan realisme. Dalam hal ini, keempat kelompok tersebut adalah post-positivis meskipun mereka memiliki perbedaan yang besar mengenai apa yang ingin mereka masukan ke dalam teori internasional. Meskipun begitu, perbedaan tersebut menjadi masalah bagi kategorisasi ini, karena memunculkan kekhawatiran bahwa pemikiran-pemikiran yang berbeda tersebut tidak dapat dikelompokkan bersama. Dalam hal ini, mereka tidak disatukan oleh apa yang mereka sepakati, melainkan oleh apa yang mereka lawan.

9.      Teori Konstitutif vs. Teori Eksplanasi
Divisi antara teori konstitutif dan teori eksplanasi ini muncul antara para teoretis yang berusaha menawarkan sisi eksplanasi bagi hubungan internasional, dan para teoretis yang memandang teori sebagai konstitutif dari realitas. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengatasi ketegangan antara kedua teori ini. Salah satu upaya yang paling terkenal datang dari realisme saintifik Bhaskar dan teori strukturasi Giddens, yang dianggap oleh Smith tidak berhasil untuk mengatasi ketegangan pada perdebatan ini. Giddens memandang teori konstitutif pada akhirnya mencakup faktor struktural dan eksternal yang mampu ditangani teori eksplanasi, sementara Bhaskar memandang teori eksplanasi mampu untuk berhadapan dengan makna dan pemahaman.
Namun dalam teori internasional, perselisihan antara teori eksplanasi dan konstitutif tampaknya menjadi pusat perdebatan. Kebanyakan karya para pemikir post-modern dan teori kritis dan sebagian feminis cocok ke dalam kategori luas dari teori konstitutif, contohnya adalah karya dari Alexander Wendt (1987, 1991, 1992, 1989), John Ruggie (1983, 1993), Nicholas Onuf (1989), dan Walter Carlsnaes (1992, 1994), sementara semua karya yang termasuk ke dalam tiga paradigma dominan pada tahun 1980an yaitu realisme, pluralisme, dan neo-Marxisme berada pada sisi yang berlawanan dari teori-teori tersebut.
Salah satu dampak dari memikirkan teori internasional dalam divisi ini memungkinkan kita untuk berpikir lebih canggih dalam memikirkan realisme. Hal ini dikarenakan terdapat tumpang tindih yang sangat sifnifikan antara teori konstitutif kontemporer serta teori internasional milik English School (khususnya karya Bull) dan beberapa pemikir realis (yang bukan neo-realis, khususnya Niebuhr dan Carr). Inti dari perdebatan dalam masing-masing kategori pada dasarnya sama. Bagi English School, masalah tersebut adalah apakah makna dan interpretasi dari masyarakat internasional adalah konstitutif dari masyarakat tersebut atau semata-mata sandi bagi kekuatan struktural. Dalam realisme, inti dari pembagian antara realisme praktik dan teknik berselisih pada pertanyaan yang sama. Dalam setiap kasus, terdapat berbagai versi dari permasalahan yang sama yang menjadi inti dari perselisihan antara teori eksplanasi dan konstitutif.

10.  Teori Internasional Fondasionalis dan Anti-Fondasionalis
Menurut Smith, perdebatan ini adalah perdebatan yang paling menyenangkan yang terjadi di dalam teori konstitutif yaitu antara dua epistemologi yang berbeda. Mark Hoffman dan Nick Rengger mengajukan bahwa terdapat dua jenis yang berbeda dari teori internasional post-positivis. Pandangan ini muncul dari ketidaksepakatan antara mereka atas sifat dari teori internasional kritis, namun mengarah pada paper yang membuat perbedaan berarti dari kedua jenis teori tersebut. Para teoretis interpretatif kritis berpendapat bahwa kriteria utama untuk menilai klaim kebenaran adalah dengan menanyakan apakah suatu teori bersifat emansipatoris, sehingga berbeda dari teori yang hanya bersifat problem-solving. Teori problem-solving dianggap sebagai teori positivis dan berusaha untuk memperbaiki kondisi manusia, sementara teori interpretatif kritis dipandang sebagai emansipatoris yang berusaha menerima dunia sebagaimana adanya dan berkonsentrasi pada usaha untuk mengatur, dan bukan mengubah dunia.
Di sisi lain, interpretativisme radikal bersama teori interpretatif kritis menolak positivisme namun tidak berbagi fondasionalisme minimal mereka. Sebaliknya, interpretativisme radikal mengemukakan hubungan power-knowledge yang mempertanyakan, bahkan terhadap klaim emansipatoris teori enterpretatif kritis. Bagi teori interpretatif radikal, teori interpretatif kritis hanyalah usaha lainnya untuk menyediakan metanarasi. Bagi teoretis kritis, emansipasi berarti sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang dimaksud oleh banyak feminis radikal. Singkatnya, sementara para teoretis kritis ingin menetapkan sebuah fondasionalisme minimal, para interpretatif radikal berpendapat bahwa hal ini hanyalah sesuatu yang sama palsunya dengan klaim positivis mengenai kebenaran sebagai korespondensi.


Sumber: 

Smith, S. (1995). The Self-Images of a Discipline: A Genealogy of International Relations Theory. Dalam K. Booth, & S. Smith, International Relations Theory Today (hal. 1-37). Pennsylvania State University Press.

Sejarah Diplomasi Kuno hingga Modern


Istilah diplomasi berasal dari bahasa Yunani Kuno δίπλωμα, yang berarti “dokumen resmi yang menganugerahkan hak istimewa”. Istilah ini terdiri dari kata diplo yang berarti “dilipat dua” dan akhiran –ma yang berarti “objek”. Kertas yang dilipat mengungkapkan hak istimewa berupa izin bepergian—kata ini menunjukkan dokumen yang dimiliki oleh para pangeran (Marks & Freeman, 2018). Menurut Henry A. Kissinger diplomasi dapat dipahami sebagai seni untuk menghubungkan negara yang satu dengan negara lainnya melalui kesepakatan dan bukan dengan paksaan (Freeman, 2005). Sejumlah ilmuwan telah mencoba menelusuri sejarah awal mula diplomasi dipraktikkan guna mengetahui perkembangan dan pola diplomasi yang komprehensif dalam berbagai masa. Sering dikatakan bahwa gaya dan peraturan diplomasi yang mengatur praktik diplomasi hanya dikembangkan setelah kristalisasi sistem negara bangsa. Namun bertentangan dengan gagasan ini, para ilmuwan telah membuat penelusuran ilmiah untuk melacak asal-usul praktik diplomasi sebelum peradaban manusia memulai perjalanannya. Tulisan ini akan memaparkan sejarah diplomasi sejak masa kuno hingga saat ini, dengan memeriksa pendapat dari para ilmuwan sehingga kita dapat membandingkan karakteristik diplomasi kuno dan diplomasi modern serta mengetahui bagaimana diplomasi berevolusi.

1.     Diplomasi Kuno
Diplomasi kuno dapat kita klasifikasikan ke dalam beberapa tempat dan tahap, yaitu sebagai berikut.

a.      Diplomasi Era Prasejarah
Diplomasi dan hubungan antar negara memiliki sejarah yang panjang, sebagaimana sejarah peradaban manusia dan dunia. Dietrich Kappeler dalam tulisannya yang berjudul “The Birth and Evolution of Diplomatic Culture” mengungkapkan bahwa praktik-praktik diplomasi sederhana telah berjalan sejak manusia hidup secara berkelompok. Dalam periode awal sejarah, terdapat kecenderungan dalam hubungan yang dijalin oleh sekelompok manusia yang tinggal di wilayah yang sama, yaitu bahwa hubungan tersebut dilakukan dalam rangka perburuan makanan. Hubungan seperti ini sebagian besar bersifat permusuhan dan mengakibatkan kelompok-kelompok tersebut saling menjauh. Namun karena populasi manusia semakin meningkat, pertarungan mereka untuk memperebutkan wilayah menjadi lebih ganas dan lebih sering terjadi. Ketika pertarungan terjadi, hubungan diplomatik pertama lahir diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan ini yang dilakukan demi menyetujui gencatan senjata dan untuk memulihkan kekuatan para petarung. Diplomat-diplomat pertama ini telah memiliki karakteristik tertentu yaitu mereka datang tanpa senjata dan mencoba menggunakan persuasi demi mendapatkan apa yang mereka inginkan (Kappeler, 2004).
Ketika beberapa kelompok manusia mulai menetap, mereka mulai berinteraksi baik dengan kelompok menetap terdekat lainnya maupun kelompok yang nomaden. Ketika hubungan yang terjadi tidak melibatkan tindakan kekerasan, kelompok-kelompok ini saling melakukan pertukaran barang, hewan, dan bahkan tahanan dari pertarungan sebelumnya. Untuk memungkinkan pertukaran ini berjalan dengan baik, harus ada suatu perjanjian perdamaian yang disepakati oleh masing-masing pihak. Para utusan yang aktif dalam hubungan ini perlu memiliki status sosial tertentu dan memiliki pengetahuan yang diperlukan mengenai isu-isu yang bersangkutan. Terkadang mereka diharuskan tetap menjadi sandera untuk menjamin pelaksanaan perjanjian. Seringkali mereka adalah individu yang berhubungan dengan penguasa kelompok mereka. Sebagai sandera, mereka menjadi akrab dengan budaya kelompok yang menahan mereka (Kappeler, 2004).
Pendapat Kappeler ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Peter Karavites dalam tulisannya yang berjudul “Diplomatic Envoys in the Homeric World”. Menurutnya, meskipun teori tentang kedutaan permanen baru benar-benar diperkenalkan setelah Perjanjian Westphalia (1648 M), praktik diplomasi telah dilakukan oleh orang-orang di Mesopotamia dan daerah Pesisir Timur, bangsa Mesir Kuno, bangsa Yunani Kuno, dan bangsa Romawi Kuno. Bahkan menurutnya, praktik diplomasi juga terjadi secara alami diantara ras primitif dari kepulauan Pasifik dan di beberapa suku aborigin Australia. Jauh sebelum adanya Perjanjian Westphalia, perwakilan permanen atau kuasi-permanen merupakan hal yang tidak asing di beberapa istana Mesopotamia. Zimrilim, raja Asiria, telah memiliki beberapa koresponden sejenis di Babilonia, sebagaimana yang dimiliki Hammurabi di Mari (Karavites, 1987).

b.      Diplomasi Era India Kuno
            Diplomasi pada masa India Kuno dapat kita pelajari dari tulisan Kautilya, penasehat utama dari raja India Chandragupta Maurya (sekitar 317-293 SM) yang pertama kali menyatukan anak benua India menjadi sebuah kerajaan. Literatur yang ditulis Kautilya ini berjudul Arthaśāstra yang diterjemahkan sebagai “Science of Politics”. Dalam Arthaśāstra, Kautilya menawarkan diskusi yang luas dan benar-benar menarik mengenai perang dan diplomasi (Boesche, 2003). Peran penting diplomasi menurut Kautilya adalah “raja yang memahami implikasi sejati dari diplomasi menaklukkan seluruh dunia”. Kautilya percaya bahwa negara-negara bertindak dalam kepentingan politik, ekonomi, dan militer mereka sendiri sehingga diplomasi akan dipraktekkan selama diplomasi melayani kepentingan pribadi negara, karena setiap negara bertindak dengan cara memaksimalkan kekuatan dan kepentingan pribadi. Menurutnya, dunia berada dalam keadaan di mana sebuah kerajaan sedang berperang atau sedang bersiap untuk perang dan diplomasi adalah senjata lain yang digunakan dalam peperangan konstan ini. Dia percaya bahwa diplomasi adalah serangkaian tindakan yang diambil oleh sebuah kerajaan sehingga memperoleh kekuatan dan akhirnya menaklukkan negara yang dengannya hubungan diplomatik tercipta. Kautilya juga percaya bahwa perjanjian harus dibuat sedemikian rupa sehingga raja melayani kepentingan pribadi kerajaan. Untuk lebih memahami konsep diplomasi Kautilya, kita harus memahami konsep Mandala mengenai enam jenis kebijakan luar negeri dan empat solusi (Chandrasekaran, 2006).
           
c.       Diplomasi Era Yunani Kuno
            Sumber paling awal mengenai diplomasi Yunani adalah dalam karya Homer yang berjudul “Illiad and Odyssey”. Elemen pertama mengenai urusan antar negara dapat diamati pada Olimpiade tahun 776 SM. Sejak abad ke-6 SM, Liga Amphictonic mempertahankan majelis antarnegara bagian dengan hak ekstrateritorial dan sekretariat permanen. Pada pertengahan abad ke-6 SM, Sparta secara dinamis mengembangkan aliansi dan telah membentuk Liga Peloponnesia sejak 500 SM. Selama perang Yunani-Persia, Athena melakukan Liga Delian pada abad ke 5 SM. Sementara itu sebagai semacam institusi diplomatik, terdapat tiga perwakilan di Yunani, yaitu (Mammadova, 2016):
1. angelos atau presbys, adalah utusan dan penatua yang dikirimkan untuk misi singkat dan spesifik;
2. keryx, adalah pembawa berita yang memiliki hak khusus atas keselamatan pribadi; dan
3. proxenos, adalah penduduk Yunani resmi maupun tidak resmi.

d.      Diplomasi Era Romawi
            Diplomasi di Era Romawi banyak dipengaruhi oleh diplomasi Yunani Kuno. Pada masa Romawi, penggunaan diplomasi sebagian besar bersifat legal dan komersial, salah satunya adalah penggunaan jalur diplomatik dalam mempertahankan hubungan dagang di dalam suatu provinsi. Orang Romawi tidak banyak menggunakan praktik diplomasi untuk tujuan administratif. Sebaliknya, mereka banyak berinvestasi dalam membangun kapabilitas militer dan keahlian militer mereka. Perwakilan diplomatik Romawi disebut Legatus, yang ditunjuk dari dan oleh Senat. Legatus memiliki beberapa kewenangan untuk bebas bertindak. Kebutuhan seorang utusan sebagian besar dipenuhi oleh komandan militer dan gubernur provinsi yang dihadiri (Kurazaki, 2011).

e.       Diplomasi Era Bizantium (Romawi Timur)
Setelah keruntuhan Kekaisaran Romawi pada 476 SM, Kekaisaran Bizantium muncul dengan praktik diplomasi yang merajalela. Kekaisaran Bizantium tidak memiliki kapabilitas militer yang kuat namun hal ini justru mendorong kekaisaran ini untuk menjaga hubungan dengan kerajaan-kerajaan tetangganya melalui cara-cara lain. Karena itu, diplomasi dilembagakan oleh Bizantium (Chaniotis & Ducrey, 2002). Kekaisaran ini memiliki beberapa cara untuk mencapai kesuksesan dalam membangun hubungan diplomatik. Cara pertama adalah dengan memanfaatkan rasa kekaguman. Tujuannya adalah untuk mengesankan utusan negara tetangga yang berkunjung dengan tampilan “superioritas absolut, kemewahan, dan kekayaan”. Sebagai kekaisaran Kristen, metode diplomasi kedua yang dilakukan oleh Bizantium adalah dengan mengeksploitasi penyuapan secara maksimal demi memperoleh keamanan dari kerajaan-kerajaan tetangganya yang kuat dan sebagian besar merupakan pengikut agama Islam. Penyuapan ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian sehingga tidak terlihat secara jelas, melalui upeti atau dengan memberikan persediaan perdagangan. Jika dua metode diplomatik ini gagal mencapai tujuan yang diinginkan, metode lain yang digunakan adalah melalui jalur perkawinan. Praktik ini diperkuat dengan sarana mas kawin dan hadiah yang merupakan bagian tak terpisahkan dari upacara pernikahan. Metode terakhir dari diplomasi Bizantium adalah kebijakan memisahkan tetangga dan mengadu-domba mereka. Untuk mencapai tujuan ini secara efektif, praktik pengumpulan informasi merupakan bagian penting dari administrasi Bizantium. Karena itu, terdapat bukti nyata intelijen di arena diplomatik. Para pembesar Bizantium tidak hanya dikirimkan untuk mewakili kerajaan mereka tetapi juga untuk mengumpulkan cukup informasi. Mereka memiliki badan yang dinamakan Skrinion Barbaron yang berfungsi sebagai biro hubungan luar negeri yang bertanggungjawab untuk mengumpulkan intelijen. Badan ini bisa dianggap sebagai salah satu badan intelijen pertama di dunia. Merangsang permusuhan antara negara-negara asing adalah sarana mengulur-ulur waktu yang akan membuat Bizantium memiliki lebih banyak waktu untuk mencegah perang. Metode-metode diplomasi ini berkontribusi pada umur panjang Kekaisaran Bizantium hingga jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 ke tangan Turki Ottoman. Metode tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh city-state Italia selama periode Renaissance (Hamilton & Langhorne, 2011).

f.        Diplomasi di Negara-Kota Italia
Kemunduran Kekaisaran Bizantium berarti meningkatnya ancaman Turki Utsmani ke arah barat. Sementara itu disisi lain Dinasti Valois yang berhasil menyatukan Prancis tengah berusaha memperluas wilayahnya dengan menyerang Italia. Ancaman-ancaman eksternal dan kesadaran akan militer yang lemah memaksa negara-negara kota Italia yang awalnya saling berkelahi satu sama lain mulai mencari keamanan bersama dengan menciptakan aliansi dengan memperkuat hubungan mereka melalui saluran diplomatik, yang melahirkan penandatanganan Perjanjian Lodi yang membahas mengenai konsep non-agresi antara satu sama lain. Perwakilan dari berbagai negara-kota ditempatkan di istana raja di ibukota. Praktek ini muncul akibat dua alasan utama. Pertama, ada sedikit kepercayaan di dalam negara-negara kota Italia karena sebelum adanya Perjanjian Lodi mereka saling permusuhan. Oleh karena itu, membangun kepercayaan terhadap kerja sama dan koordinasi lebih lanjut merupakan suatu kebutuhan awal yang harus digenapi. Kedua, keseimbangan kekuasaan sangat rapuh dan sangat bergantung pada intelijen yang dikumpulkan untuk mempersiapkan resiko yang mungkin terjadi jika ada negara kota yang membelot dari perjanjian tersebut (Kurazaki, 2011). Oleh karena itu dibutuhkan adanya duta besar residen untuk memperingatkan raja kembali ke negara-kotanya. Kebutuhan akan duta besar residen menghasilkan adanya dua kedutaan, yaitu kedutaan permanen dan duta besar residen yang melenbagakan praktik diplomasi di bagian utara Italia. Pada saat Perang Tiga Puluh Tahun pecah, seluruh Eropa telah mengadopsi sistem kedutaan permanen dan duta besar residen. Kedamaian ini ternyata hanya bertahan hingga datangnya invasi Charles VIII dari Perancis pada 1494 M. Namun meskipun begitu, serangan ini telah mendorong negara-negara Eropa lainnya untuk mengadopsi konsep diplomasi Italia (Mattingly, 1955).

g.      Praktik Diplomasi di Abad Ke-16 hingga abad 20 M
Praktik diplomasi yang intensif dan perbaikan di bidang diplomasi berlangsung pada periode ini dikarenakan adanya Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648). Semakin banyak negara bagian yang menjadi mandiri dan berdaulat telah membentuk kedutaan permanen dan duta besar residen. Oleh karena itu, sebuah kebutuhan dirasakan untuk membentuk semacam kekebalan diplomatik untuk membebaskan duta besar dari perlakuan sewenang-wenang oleh para raja penerima. Ditetapkan juga bahwa dikarenakan para duta besar mewakili raja itu sendiri, maka mereka harus diperlakukan secara setara (Ahonen-Ström & Andgren, 2006). Tokoh yang prestisius dalam diplomasi pada periode ini adalah Cardinal Richelieu yang pada tahun 1624 mendirikan Kementerian Urusan Luar Negeri pertama yang memusatkan semua urusan luar negeri di bawah satu departemen terpisah (Islam, 2005). Dia juga berjasa dalam memberikan dua inovasi utama dalam praktek diplomasi. Kita mungkin mengingat pendapat Kissinger yang mendefinisikan negosiasi sebagai praktik yang melibatkan “konsesi perdagangan” (Kissinger, 1994). Ternyata praktik ini diperkenalkan pertama kali oleh Richelieu yang menganggap konsesi dan kontra konsesi merupakan bagian negosiasi yang sangat signifikan. Dia juga menekankan bahwa perdagangan konsesi ini perlu dipraktekkan secara pribadi karena menjadi tidak praktis saat dipublikasikan. Oleh karena itu, rincian mengenai negosiasi perlu dijaga kerahasiaannya (Kurazaki, 2011). Inovasi Richelieu yang lainnya adalah penekanannya pada aspek kontinuitas diplomasi, yang menyatakan bahwa upaya diplomatik akan lebih bermanfaat jika berjalan secara terus-menerus baik di masa perang maupun damai (Richelieu, 1961). Peristiwa penting lainnya yang menandai perkembangan diplomasi pada periode ini adalah Perjanjian Westphalia (1648), Kongres Wina, pembentukan Liga Bangsa-Bangsa, dan Perang Dingin.

2.     Diplomasi Modern
Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan pada tahun 1945. Namun karena adanya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, PBB seringkali mengalami keterbatasan dalam menjalankan tugasnya. Kekuatan veto dieksekusi secara ekstensif oleh satu sama lain. Dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, segala sesuatunya mulai berjalan lebih lancar dari sebelumnya. Periode tersebut bisa dianggap sebagai periode kemunculan diplomasi modern. Pada diplomasi modern, telah terjadi pergeseran fokus diplomasi dari yang awalnya bersifat politik menjadi ekonomi, menyebabkan para duta besar harus memasukkan hubungan komersial dan ekonomi di dalam lingkup kerja mereka. Masuknya aspek ekonomi ke dalam diplomasi dilatarbelakangi oleh keberhasilan hubungan ekonomi dalam mengurangi ketegangan antara negara-bangsa secara efektif. Karena itu, aspek ekonomi suatu bangsa juga memainkan peran utama dalam diplomasi berbasis negara. Disamping itu, penugasan duta besar tertentu juga memegang peranan penting. Ketika negara A menugaskan seorang duta besar untuk negara B, perlu dicatat jika duta besar tersebut menjalankan kekuasaan atas pemimpin negara A. Dalam istilah yang lebih sederhana, pilihan duta besar yang ditugaskan oleh negara untuk negara lain menunjukkan pentingnya hubungan dengan negara tersebut. Sehingga proyeksi kebijakan luar negeri suatu negara tidak lagi terbatas pada Kementerian Luar Negeri. Akhir-akhir ini, kepala pemerintahan dan juga kepala negara telah secara aktif berpartisipasi di dalam diplomasi. Perubahan ini adalah apa yang saat ini kita kenal dengan istilah diplomasi publik (Islam, 2005).
Adanya LBB dan PBB juga membawa pola baru dalam hubungan diplomatik yang awalnya hanya bersifat bilateral menjadi bersifat multilateral. Pendekatan multilateral ini semakin meningkat pasca 1945 (KCMG, 2009). Diplomasi modern juga mengalami perubahan dari segi aktor. Seiring munculnya aktor-aktor non-negara yang berperan penting dalam sistem internasional, saat ini diplomasi tidak hanya merupakan otoritas pemerintah pusat. Diplomasi juga melibatkan lebih banyak aktor seperti pemerintah daerah (paradiplomasi), warga negara (diplomasi publik), dll.  
            Teknologi informasi yang merupakan fitur abad ke-21 juga membawa perubahan dalam karakteristik diplomasi ke dalam komunikasi modern. Saat ini, pengoperasian sirkulasi informasi dan aksesibilitasnya mengubah dinamika pekerjaan diplomatik yang memerlukan reaksi lebih cepat dan prinsip pemilihan informasi lainnya. Selain itu, agenda abad ke-21 mewajibkan para ahli di berbagai bidang: masalah energi, lingkungan, keuangan, ekonomi, hak asasi manusia, masalah kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, kejahatan terorganisir, masalah keamanan dan terorisme. Transformasi Diplomasi di abad ke-21 ditandai dengan pesatnya kerjasama dan koordinasi antar institusi dalam memecahkan berbagai pertanyaan. Dalam konteks UE, misalnya, ini adalah pertanyaan tentang pengembangan European External Action Service (EEAS) yang akan mampu memastikan penyampaian kebijakan yang efektif dan efisien (Klavins, 2011).
            Banyak fitur diplomasi yang disebutkan di atas sesuai dengan tipologi Graham Evans dan Jeffrey Newnham. Menggambarkan perubahan diplomasi di abad 21, para penulis ini memperhatikan transformasi dalam mekanisme diplomasi dan diplomat. Para penulis, misalnya, menunjukkan perubahan berikut: dialog diplomatik yang diperluas; perubahan dalam penekanan—perhatian lebih untuk diplomasi multilateral; sejumlah besar ahli dan spesialis yang terlibat; semakin pentingnya media massa, pelaku masyarakat internasional dan aktor nonpemerintah. Hal ini dipengaruhi oleh proses perubahan terus-menerus. Seiring perubahan dunia begitu juga melakukan diplomasi. Oleh karena itu, seperti yang Brian Hocking tulis, "Diplomasi merespons, seperti sebelumnya, berubah dalam karakter negara dan masyarakat" (Klavins, 2011).

  
Sumber:
Ahonen-Ström, K., & Andgren, P. (2006). Changing Diplomacy: Actors or Structures? Lund: Lund University.
Boesche, R. (2003). Kautilya’s Arthasastra on War and Diplomacy in Ancient India. The Journal of Military History Volume 67 Number 1, 9-37.
Chandrasekaran, P. (2006). Kautilya: Politics, Ethics And Statecraft.
Chaniotis, A., & Ducrey, P. (2002). Army and Power in the Ancient World. Stuttgart: Franz Steiner Verlag.
Freeman, C. W. (2005). The Diplomat's Dictionary. Washington DC: US Institute of Peace Press.
Hamilton, K., & Langhorne, R. (2011). The Practice of Diplomacy: Its Evolution, Theory, and Administration. New York: Routledge.
Hocking, B., Melissen, J., Riordan, S., & Sharp, P. (2012). Futures for Diplomacy: Integrative Diplomacy in the 21st Century. Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’.
Islam, S. M. (2005). Changing Nature and Agenda of Diplomacy: A Critical Analysis. Assian Affairs Vol.27 No.1, 56-71.
Kappeler, D. (2004). The Birth and Evolution of Diplomatic Culture. Dalam H. Slavik, Intercultural Communication and Diplomacy (hal. 353-359). Jenewa: Diplofoundation.
Karavites, P. (1987). Diplomatic Envoys in the Homeric World.
KCMG, S. I. (2009). The Development of Modern Diplomacy . London: Chatham House.
Kissinger, H. A. (1994). Diplomacy. USA: Simon and Schuster Inc.
Klavins, D. (2011). Understanding the Essence of Modern Diplomacy. The ICD Annual Academic Conference on Cultural Diplomacy 2011: Cultural Diplomacy and International Relations; New Actors; New Initiatives; New Targets (hal. 1-7). Berlin: European Social Fund.
Kumar, M. (t.thn.). Relevance of Ancient Indian Diplomatic Styles in Contemporary Era of Globalization. Nainital: Kumaun University.
Kurazaki, S. (2011). When Diplomacy Works.
Mammadova, S. (2016). The Key Aspects of Ancient Greek Diplomacy. Baku: School of Public and International Affairs.
Marks, S., & Freeman, C. W. (2018, Februari 2). Diplomacy. Diambil kembali dari Encyclopaedia Britannica: https://www.britannica.com/topic/diplomacy
Mattingly, G. (1955). Renaissance Diplomacy. New York: Cosimo Classic Inc.
Richelieu, A. J. (1961). The Political Testament of Cardinal Richelieu: The Significant Chapters and Supporting Selections. Wisconsin: University of Wisconsin Press.


Definisi Fundamentalisme Agama dalam Studi Identitas


Emerson dan Hartman (2006, hlm. 129) mengungkapkan bahwa bagaimana fundamentalisme didefinisikan dan ditafsirkan bergantung pada persepektif seseorang dalam memandang modernitas. Dari sudut pandang orang yang mendukung modernitas dan sekularitas, kaum fundamentalis adalah kaum reaksioner, kaum radikal yang berusaha merubah kekuasaan yang ada saat ini dan melemparkan masyarakat kembali ke dalam masa kegelapan yang dipenuhi oleh penindasan, patriarki, dan intoleransi. Sebaliknya, para pendukung fundamentalis memandang modernisasi Barat sebagai gelombang perubahan yang mengoyak komunitas, nilai-nilai, ikatan sosial, dan makna mereka. Sehingga kelompok ini menolak perubahan yang dibawa oleh modernitas. Ketika penolakan ini didasarkan pada keyakinan agama mereka, maka mereka disebut oleh kaum modernis sebagai fundamentalis agama. Sebagaimana yang dinyatakan Bruce (2000, hlm. 117) bahwa "Fundamentalisme adalah respon rasional dari masyarakat agamis tradisional terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang menurunkan dan membatasi peran agama di ranah publik." (Emerson & Hartman, 2006).
Menurut Emerson dan Hartman (2006, hlm. 134), terdapat karakteristik yang melekat pada para fundamentalis agama. Secara idelogis, fundamentalisme agama memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) reaktif terhadap marginalisasi agama, 2) selektif terhadap aspek tradisi agama, 3) pandangan dualistik terhadap dunia (segala sesuatu di dunia adalah hitam-putih), 4) absolutisme dan ineransi (kitab suci sebagai sumber kebenaran dan akurat dalam memandang segala hal), serta 5) millenialisme dan messianisme (kehidupan di dunia akan berakhir, kejahatan akan lenyap, dan orang-orang yang berimanlah yang akan menang). Sementara secara organisasional, fundamentalisme agama memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) anggota dari gerakan fundamentalisme adalah orang-orang yang terpilih, 2) adanya batasan yang tegas antara anggota dan orang di luar anggota (kelompok fundamentalis adalah orang-orang yang benar dan orang-orang baik, sementara orang-orang di luar mereka tidak), 3) organisasi yang otoriter, dan 4) adanya perilaku tertentu yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai persyaratan keanggotaan (Emerson & Hartman, 2006).
Fundamentalisme agama berkaitan erat dengan konsep identitas sosial, yaitu konsep ‘Self and Others’. Dalam pembentukan identitas sosial-politk, dikotomi self/in-group dan others/outgroup merupakan proses yang penting untuk menciptakan ikatan sosial yang solid. Menurut Lebow (2008, hlm. 474), identitas sosial-politik dapat dibentuk dengan baik dalam perjuangan kekerasan melawan musuh (Lebow, 2008). Adanya karakteristik ideologis dalam fundamentalisme agama yang berupa pandangan dualistik mengenai baik-buruk dan melihat dunia secara hitam putih serta karakteristik organisasional mengani keanggotaan mereka yang merupakan orang-orang yang terpilih dan pembatasan tegas antara anggota dan orang-orang di luar keanggotaan mereka merupakan ciri dari terjadinya proses pemisahan self and others. Dikotomi self and others ini meskipun berpengaruh baik bagi identitas sosial itu sendiri, namun berdampak negatif bagi masyarakat secara umum, karena dapat menjadi penyebab terjadinya konflik. Ketika orang-orang fundamentalis ini memandang diri mereka sebagai orang-orang yang lebih suci dari orang-orang lainnya, mereka akan berusaha untuk membuat orang lain sama dengan mereka. Hal ini bukan hanya merupakan usaha yang secara sukarela mereka lakukan, namun dalil-dalil agama memberikan legitimasi dan menjanjikan bahwa mengajak orang lain ke jalan yang ‘benar’ adalah suatu perbuatan mulia yang akan memperoleh pahala sehingga mereka merasa berkewajiban untuk mengajak orang lain ke dalam kelompok mereka.
Anggapan mengenai kesucian diri mereka dibandingkan orang lain juga menyebabkan orang-orang fundamentalis cenderung memiliki sifat yang tidak menyenangkan, yaitu mereka mudah berprasangka buruk terhadap orang lain. Menurut Brandt dan Reyna (2014, hlm. 208-209), fundamentalisme berkaitan erat dengan prasangka buruk yang dilatarbelakangi oleh dua faktor, yaitu faktor ketaatan dan penyerahan diri kepada otoritas agama (teks-teks/kitab dan para pemimpin agama) yang mereka percayai sebagai landasan mereka dalam bersikap dan faktor tradisionalisme moral, yaitu para fundamentalis percaya bahwa dengan mendukung nilai-nilai tradisional-yang di dalamnya meliputi nilai-nilai agama yang mereka yakini—para fundamentalis mungkin dapat mempertahankan dan mempromosikan keyakinan mereka (Brandt & Reyna, 2014).  Pada akhirnya, fundamentalisme agama dapat merusak multikulturalisme dan pluralisme masyarakat karena mereka berusaha mendekonstruksi dan merekonstruksi identitas beragam yang ada di masyarakat menjadi sebuah kesatuan identitas yang sama di mana tidak ada ruang bagi perbedaan. 

Sumber:

Brandt, M. J., & Reyna, C. (2014). To Love or Hate Thy Neighbor: The Role of Authoritarianism and Traditionalism in Explaining the Link Between Fundamentalism and Racial Prejudice. Political Psychology, 207-223.
Emerson, M. O., & Hartman, D. (2006). The Rise of Religious Fundamentalism. Annual Review of Sociology, 127-144.
Lebow, R. N. (2008). Identity and International Relations. International Relations, 473-492.


Genealogi Teori Hubungan Internasional Menurut Steve Smith: 10 Self-Image

                    1.   Teori Internasional vs. Teori Politik Menurut Steve Smith, penjelasan yang paling baik mengenai teori internasio...