Emerson dan Hartman
(2006, hlm. 129) mengungkapkan bahwa bagaimana fundamentalisme didefinisikan
dan ditafsirkan bergantung pada persepektif seseorang dalam memandang
modernitas. Dari sudut pandang orang yang mendukung modernitas dan sekularitas,
kaum fundamentalis adalah kaum reaksioner, kaum radikal yang berusaha merubah
kekuasaan yang ada saat ini dan melemparkan masyarakat kembali ke dalam masa
kegelapan yang dipenuhi oleh penindasan, patriarki, dan intoleransi. Sebaliknya,
para pendukung fundamentalis memandang modernisasi Barat sebagai gelombang
perubahan yang mengoyak komunitas, nilai-nilai, ikatan sosial, dan makna
mereka. Sehingga kelompok ini menolak perubahan yang dibawa oleh modernitas.
Ketika penolakan ini didasarkan pada keyakinan agama mereka, maka mereka
disebut oleh kaum modernis sebagai fundamentalis agama. Sebagaimana yang
dinyatakan Bruce (2000, hlm. 117) bahwa "Fundamentalisme adalah respon rasional dari masyarakat agamis
tradisional terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang menurunkan dan
membatasi peran agama di ranah publik." (Emerson & Hartman, 2006) .
Menurut Emerson dan
Hartman (2006, hlm. 134), terdapat karakteristik yang melekat pada para
fundamentalis agama. Secara idelogis, fundamentalisme agama memiliki karakteristik
sebagai berikut: 1) reaktif terhadap marginalisasi agama, 2) selektif terhadap
aspek tradisi agama, 3) pandangan dualistik terhadap dunia (segala sesuatu di
dunia adalah hitam-putih), 4) absolutisme dan ineransi (kitab suci sebagai
sumber kebenaran dan akurat dalam memandang segala hal), serta 5) millenialisme
dan messianisme (kehidupan di dunia akan berakhir, kejahatan akan lenyap, dan
orang-orang yang berimanlah yang akan menang). Sementara secara organisasional,
fundamentalisme agama memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) anggota dari
gerakan fundamentalisme adalah orang-orang yang terpilih, 2) adanya batasan
yang tegas antara anggota dan orang di luar anggota (kelompok fundamentalis
adalah orang-orang yang benar dan orang-orang baik, sementara orang-orang di
luar mereka tidak), 3) organisasi yang otoriter, dan 4) adanya perilaku
tertentu yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai persyaratan keanggotaan (Emerson & Hartman, 2006) .
Fundamentalisme agama
berkaitan erat dengan konsep identitas sosial, yaitu konsep ‘Self and Others’. Dalam pembentukan
identitas sosial-politk, dikotomi self/in-group
dan others/outgroup merupakan
proses yang penting untuk menciptakan ikatan sosial yang solid. Menurut Lebow
(2008, hlm. 474), identitas sosial-politik dapat dibentuk dengan baik dalam
perjuangan kekerasan melawan musuh (Lebow, 2008) .
Adanya karakteristik ideologis dalam fundamentalisme agama yang berupa
pandangan dualistik mengenai baik-buruk dan melihat dunia secara hitam putih
serta karakteristik organisasional mengani keanggotaan mereka yang merupakan
orang-orang yang terpilih dan pembatasan tegas antara anggota dan orang-orang di
luar keanggotaan mereka merupakan ciri dari terjadinya proses pemisahan self and others. Dikotomi self and others ini meskipun berpengaruh
baik bagi identitas sosial itu sendiri, namun berdampak negatif bagi masyarakat
secara umum, karena dapat menjadi penyebab terjadinya konflik. Ketika
orang-orang fundamentalis ini memandang diri mereka sebagai orang-orang yang
lebih suci dari orang-orang lainnya, mereka akan berusaha untuk membuat orang
lain sama dengan mereka. Hal ini bukan hanya merupakan usaha yang secara
sukarela mereka lakukan, namun dalil-dalil agama memberikan legitimasi dan
menjanjikan bahwa mengajak orang lain ke jalan yang ‘benar’ adalah suatu
perbuatan mulia yang akan memperoleh pahala sehingga mereka merasa berkewajiban
untuk mengajak orang lain ke dalam kelompok mereka.
Anggapan mengenai kesucian
diri mereka dibandingkan orang lain juga menyebabkan orang-orang fundamentalis
cenderung memiliki sifat yang tidak menyenangkan, yaitu mereka mudah
berprasangka buruk terhadap orang lain. Menurut Brandt dan Reyna (2014, hlm.
208-209), fundamentalisme berkaitan erat dengan prasangka buruk yang
dilatarbelakangi oleh dua faktor, yaitu faktor ketaatan dan penyerahan diri
kepada otoritas agama (teks-teks/kitab dan para pemimpin agama) yang mereka
percayai sebagai landasan mereka dalam bersikap dan faktor tradisionalisme
moral, yaitu para fundamentalis percaya bahwa dengan mendukung nilai-nilai
tradisional-yang di dalamnya meliputi nilai-nilai agama yang mereka yakini—para
fundamentalis mungkin dapat mempertahankan dan mempromosikan keyakinan mereka (Brandt & Reyna, 2014) . Pada akhirnya, fundamentalisme agama dapat
merusak multikulturalisme dan pluralisme masyarakat karena mereka berusaha
mendekonstruksi dan merekonstruksi identitas beragam yang ada di masyarakat
menjadi sebuah kesatuan identitas yang sama di mana tidak ada ruang bagi
perbedaan.
Sumber:
Brandt, M. J., & Reyna, C. (2014). To Love or
Hate Thy Neighbor: The Role of Authoritarianism and Traditionalism in
Explaining the Link Between Fundamentalism and Racial Prejudice. Political
Psychology, 207-223.
Emerson, M. O., & Hartman, D. (2006). The Rise
of Religious Fundamentalism. Annual Review of Sociology, 127-144.
Lebow, R. N. (2008). Identity and International
Relations. International Relations, 473-492.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar