Senin, 02 September 2019

Definisi Fundamentalisme Agama dalam Studi Identitas


Emerson dan Hartman (2006, hlm. 129) mengungkapkan bahwa bagaimana fundamentalisme didefinisikan dan ditafsirkan bergantung pada persepektif seseorang dalam memandang modernitas. Dari sudut pandang orang yang mendukung modernitas dan sekularitas, kaum fundamentalis adalah kaum reaksioner, kaum radikal yang berusaha merubah kekuasaan yang ada saat ini dan melemparkan masyarakat kembali ke dalam masa kegelapan yang dipenuhi oleh penindasan, patriarki, dan intoleransi. Sebaliknya, para pendukung fundamentalis memandang modernisasi Barat sebagai gelombang perubahan yang mengoyak komunitas, nilai-nilai, ikatan sosial, dan makna mereka. Sehingga kelompok ini menolak perubahan yang dibawa oleh modernitas. Ketika penolakan ini didasarkan pada keyakinan agama mereka, maka mereka disebut oleh kaum modernis sebagai fundamentalis agama. Sebagaimana yang dinyatakan Bruce (2000, hlm. 117) bahwa "Fundamentalisme adalah respon rasional dari masyarakat agamis tradisional terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang menurunkan dan membatasi peran agama di ranah publik." (Emerson & Hartman, 2006).
Menurut Emerson dan Hartman (2006, hlm. 134), terdapat karakteristik yang melekat pada para fundamentalis agama. Secara idelogis, fundamentalisme agama memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) reaktif terhadap marginalisasi agama, 2) selektif terhadap aspek tradisi agama, 3) pandangan dualistik terhadap dunia (segala sesuatu di dunia adalah hitam-putih), 4) absolutisme dan ineransi (kitab suci sebagai sumber kebenaran dan akurat dalam memandang segala hal), serta 5) millenialisme dan messianisme (kehidupan di dunia akan berakhir, kejahatan akan lenyap, dan orang-orang yang berimanlah yang akan menang). Sementara secara organisasional, fundamentalisme agama memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) anggota dari gerakan fundamentalisme adalah orang-orang yang terpilih, 2) adanya batasan yang tegas antara anggota dan orang di luar anggota (kelompok fundamentalis adalah orang-orang yang benar dan orang-orang baik, sementara orang-orang di luar mereka tidak), 3) organisasi yang otoriter, dan 4) adanya perilaku tertentu yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai persyaratan keanggotaan (Emerson & Hartman, 2006).
Fundamentalisme agama berkaitan erat dengan konsep identitas sosial, yaitu konsep ‘Self and Others’. Dalam pembentukan identitas sosial-politk, dikotomi self/in-group dan others/outgroup merupakan proses yang penting untuk menciptakan ikatan sosial yang solid. Menurut Lebow (2008, hlm. 474), identitas sosial-politik dapat dibentuk dengan baik dalam perjuangan kekerasan melawan musuh (Lebow, 2008). Adanya karakteristik ideologis dalam fundamentalisme agama yang berupa pandangan dualistik mengenai baik-buruk dan melihat dunia secara hitam putih serta karakteristik organisasional mengani keanggotaan mereka yang merupakan orang-orang yang terpilih dan pembatasan tegas antara anggota dan orang-orang di luar keanggotaan mereka merupakan ciri dari terjadinya proses pemisahan self and others. Dikotomi self and others ini meskipun berpengaruh baik bagi identitas sosial itu sendiri, namun berdampak negatif bagi masyarakat secara umum, karena dapat menjadi penyebab terjadinya konflik. Ketika orang-orang fundamentalis ini memandang diri mereka sebagai orang-orang yang lebih suci dari orang-orang lainnya, mereka akan berusaha untuk membuat orang lain sama dengan mereka. Hal ini bukan hanya merupakan usaha yang secara sukarela mereka lakukan, namun dalil-dalil agama memberikan legitimasi dan menjanjikan bahwa mengajak orang lain ke jalan yang ‘benar’ adalah suatu perbuatan mulia yang akan memperoleh pahala sehingga mereka merasa berkewajiban untuk mengajak orang lain ke dalam kelompok mereka.
Anggapan mengenai kesucian diri mereka dibandingkan orang lain juga menyebabkan orang-orang fundamentalis cenderung memiliki sifat yang tidak menyenangkan, yaitu mereka mudah berprasangka buruk terhadap orang lain. Menurut Brandt dan Reyna (2014, hlm. 208-209), fundamentalisme berkaitan erat dengan prasangka buruk yang dilatarbelakangi oleh dua faktor, yaitu faktor ketaatan dan penyerahan diri kepada otoritas agama (teks-teks/kitab dan para pemimpin agama) yang mereka percayai sebagai landasan mereka dalam bersikap dan faktor tradisionalisme moral, yaitu para fundamentalis percaya bahwa dengan mendukung nilai-nilai tradisional-yang di dalamnya meliputi nilai-nilai agama yang mereka yakini—para fundamentalis mungkin dapat mempertahankan dan mempromosikan keyakinan mereka (Brandt & Reyna, 2014).  Pada akhirnya, fundamentalisme agama dapat merusak multikulturalisme dan pluralisme masyarakat karena mereka berusaha mendekonstruksi dan merekonstruksi identitas beragam yang ada di masyarakat menjadi sebuah kesatuan identitas yang sama di mana tidak ada ruang bagi perbedaan. 

Sumber:

Brandt, M. J., & Reyna, C. (2014). To Love or Hate Thy Neighbor: The Role of Authoritarianism and Traditionalism in Explaining the Link Between Fundamentalism and Racial Prejudice. Political Psychology, 207-223.
Emerson, M. O., & Hartman, D. (2006). The Rise of Religious Fundamentalism. Annual Review of Sociology, 127-144.
Lebow, R. N. (2008). Identity and International Relations. International Relations, 473-492.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Genealogi Teori Hubungan Internasional Menurut Steve Smith: 10 Self-Image

                    1.   Teori Internasional vs. Teori Politik Menurut Steve Smith, penjelasan yang paling baik mengenai teori internasio...