Diulas oleh Astriana Solihat, Departemen
Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Padjadjaran, Bandung (astriana15001@mail.unpad.ac.id)
Wilayah,
terutama yang kaya akan sumber daya alam, merupakan penyebab utama terjadinya
konflik antar negara. John Vasquez menyebutkan bahwa sengketa teritorial
memiliki probabilitas yang lebih besar menuju konflik militer dan perang
daripada jenis sengketa lainnya. Selain itu, banyak sengketa teritorial yang
kemudian berujung pada timbulnya pertanyaan perihal identitas nasional. Salah
satu wilayah yang seringkali menjadi sumber sengketa adalah Asia Timur. Asia
Timur bisa dibilang merupakan rumah bagi banyak sengketa teritorial yang paling
menjengkelkan di dunia. Diantara sengketa lainnya, sengketa teritorial yang
paling menonjol di Asia Timur adalah sengketa mengenai wilayah kepulauan di
Laut Timur / Laut Jepang terhadap sekelompok kecil pulau yang dikenal sebagai
Dokdo di Korea dan sebagai Takeshima di Jepang (selanjutnya disebut sebagai
"Sengketa Dokdo"), sengketa di Laut Cina Timur terhadap sekelompok
lapisan tanah yang dikenal sebagai Senkaku Retto di Jepang dan Diaoyutai di
Cina (selanjutnya disebut sebagai "Sengketa Senkaku"), dan sengketa
di Laut Cina Selatan terhadap kepulauan Paracel dan Spratly. Dalam buku ini,
Min Gyo Koo, seorang profesor dari Universitas Nasional Seoul, menyajikan suatu
analisis komprehensif mengenai ketiga sengketa tersebut dengan mengelaborasi prinsip-prinsip
dasar pembangunan rezim maritim di Asia Timur.
ISLAND DISPUTES AND MARITIME REGIME BUILDING IN EAST
ASIA: BETWEEN A ROCK AND A HARD PLACE terdiri dari delapan bab yang masing-masing memiliki
tujuan yang jelas. Bab pertama merupakan pendahuluan yang mengantarkan pembaca
pada gambaran mengenai apa itu sengketa teritorial, bagaimana ciri khusus yang
membedakan sengketa tersebut dengan sengketa lainnya, bagaimana karakteristik
sengketa teritorial yang terjadi di Asia Timur, dan bagaimana signifikansi
pengaruh sengketa teritorial terhadap Asia Timur sebagai suatu region, dilihat
dari berbagai perspektif utama dalam Hubungan Internasional. Bab ini juga
menunjukkan bagaimana studi yang telah dilakukan selama ini dalam mempelajari
sengketa teritorial di Asia Timur belum mampu menyajikan pendekatan yang cukup
komprehensif serta belum mampu menggunakan perspektif komparatif yang lebih
luas. Strategi penelitian yang digunakan oleh penulis dalam buku ini
menggunakan perspektif “territorial
bargaining game” sebagai pedoman bagi kerangka konseptual dan menggunakan
pendekatan baik secara kuantitatif dan kualitatif, dengan variabel dependen
berupa intensitas konflik.
Bab dua
memaparkan komponen penjelas dari territorial
bargaining game secara lebih rinci. Pendekatan permainan ini dimulai dengan
mengidentifikasi dorongan-dorongan awal bagi perubahan teritorial dari status quo teritorial yang berlaku.
Dorongan-dorongan awal mempengaruhi penyediaan jenis barang tertentu, mulai
dari barang-barang publik hingga privat. Entitas teritorial yang kompetitif
merespon terhadap dorongan-dorongan awal tersebut dan perubahan berikutnya
dalam penyediaan barang, dalam berbagai cara berdasarkan situasi tawar
masing-masing, yang teridiri dari (1) interdependensi kompleks perekonomian
mereka; (2) postur geopolitik; (3) dinamika kekuasaan dalam negeri; dan (4)
konteks kelembagaan di tingkat regional dan global. Pendekatan territorial bargaining game dapat
menangkap sifat ganda dari kontinuitas dan saling menahan diri dalam sengketa kepulauan
di Asia Timur dengan cara yang sistematis.
Bab tiga
membahas mengenai ketiga sengketa kepulauan dengan menggunakan teknik regresi
yang dirancang untuk menilai akurasi empiris dan generalisasi komponen dari territorial bargaining game. Penulis
menyajikan dua variabel dependen yang saling terkait erat. Intensitas sengketa
adalah variabel dengan skala lima poin, variabel dependen mutlak yang mengukur
tingkat tertinggi dari permusuhan yang dicapai dalam angka yang disetuji, yaitu
dua tahun. Inisiasi sengketa adalah variabel dependen dikotomi yang menentukan
terjadi atau tidaknya sengketa. Penulis menguji intensitas dan inisiasi
hipotesis menggunakan teknik OLS dan regresi logistik biner secara berurutan. Model
regresi OLS menguji di bawah kondisi apa negara memilih untuk meningkatkan
sengketa teritorial. Model regresi logistik biner menguji di bawah kondisi apa negara
cenderung untuk memulai sengketa teritorial. Setelah menjelaskan hipotesis dan langkah-langkah
operasional, penulis kemudian mempresentasikan hasil empiris dari analisis
regresi. Temuan pada bab ini mengisi kesenjangan yang signifikan dalam studi
empiris mengenai sengketa kepulauan di Asia Timur.
Bab empat
menganalisis sengketa Kepulauan Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang. Bukti
yang diberikan dalam bab ini menunjukkan bahwa transisi antara, dan kesimpulan
dari, tahap sengketa yang berbeda berhubungan erat dengan komponen kunci dari territorial bargaining game, khususnya
saling ketergantungan ekonomi yang kompleks antara Korea Selatan dan Jepang.
Ditambah dengan permusuhan sejarah yang belum terselesaikan, kompetisi yang
semakin meningkat perihal sumber daya alam, tekanan dari kelompok-kelompok ultranasionalis,
dan benturan persaingan nasionalisme, telah menyediakan suatu lahan subur untuk
inisiasi dan eskalasi sengketa Dokdo. Namun seiring dengan tuntutan utama
politik aliansi antara Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang, prioritas
tinggi yang diberikan kepada hubungan ekonomi yang stabil telah memotivasi baik
Korea Selatan maupun Jepang untuk berhenti mendorong pertikaian politik yang
menentukan dan final atas pulau-pulau yang disengketakan.
Bab lima
membahas pola yang terjadi secara berulang pada sengketa Senkaku antara Jepang
dan Cina. Pertama, Cina sebagai penantang teritorial telah menggunakan sengketa
untuk memobilisasi nasionalisme dengan meniupkan dan memperbesar sentimen
anti-Jepang. Sementara bagi Jepang, mendorong isu pulau di luar batas tertentu
telah lama menjadi sesuatu yang tabu dalam politik, namun kelompok
ultranasionalis telah mendikte waktu, metode, dan intensitas klaim tersebut
sehingga klaim atas pulau Senkaku tidak sepenuhnya berada dalam kendali
pemerintah Jepang. Seperti dalam kasus sengketa Dokdo, bukti yang disajikan
dalam bab ini menunjukkan bahwa persaingan nasionalisme berpotensi mampu
membuat sengketa Senkaku di luar kendali, terutama jika biaya dan manfaat dari
interdependensi ekonomi tidak merata antara dua saingan regional tersebut.
Dengan mengorbankan identitas nasionalis mereka, bagaimanapun, baik elit
politik Jepang maupun Cina telah berulang kali memilih untuk menahan klaim
teritorial mereka karena takut bahwa ketegangan yang berlebihan akan merusak
hubungan ekonomi mereka yang saling menguntungkan.
Bab enam
menyelidiki sengketa kepulauan Paracel dan Spratly antara Cina dan Vietnam
secara berurutan. Sengketa ini telah berlangsung dalam tiga putaran bentrokan
kekerasan sejak pertama kali terjadi pada awal tahun 1970-an. Di antara
faktor-faktor lainnya, perubahan lingkungan yang strategis di Indocina telah
menjadi faktor yang memiliki dampak paling signifikan terhadap inisiasi dan
eskalasi sengketa Paracel dan Spratly. Sepanjang periode Perang Dingin,
hubungan Sino-Vietnam juga tidak menghalangi kekuatan ekonomi, yang mana hal
ini bertentangan dengan kasus hubungan Korea Selatan-Jepang dan Sino-Jepang.
Dari perspektif liberal mengenai perdamaian, tidak mengherankan bahwa sengketa
Paracel dan Spratly menjadi salah satu sengketa pulau paling kejam di Asia
Timur. Namun pada periode pasca Perang Dingin, hubungan Sino-Vietnam telah
mengalami peningkatan yang stabil, meskipun terus dijiwai dengan rasa saling
curiga. Proses pemulihan hubungan teritorial Sino-Vietnam memuncak pada KTT ASEAN
tahun 2002 di mana sepuluh negara-negara anggota ASEAN dan Cina menandatangani Declaration on the Conduct of Parties in the
South China Sea, dengan tujuan mencegah konflik dan mempromosikan kerjasama
di wilayah tersebut. Bagi sebagian besar pihak, perubahan ini dapat dikaitkan
dengan peningkatan hubungan ekonomi yang signifikan antara Cina dan Vietnam
dalam beberapa tahun terakhir.
Bab tujuh
dimulai dengan pengamatan bahwa tugas untuk mendelimitasi batas-batas nasional,
baik di daratan maupun di perairan, seringkali memakan waktu, membutuhkan
kemauan politik yang kuat, dan upaya diplomatik yang tak kenal lelah dari semua
negara tetangga dengan klaim yang saling bertentangan. Setelah menyelidiki
kunci masalah hukum yang menyebabkan terjadinya pergulatan di antara
negara-negara Asia Timur, bab ini mengkaji munculnya pilihan untuk resolusi dan
pengaturan sengketa batas perairan dengan fokus pada pembentukan suatu rezim
maritim regional. Kemudian, bab ini menilai kemungkinan dibentuknya suatu rezim
maritim regional, dengan kemampuan negara-negara pesisir untuk mengejar
kepentingan maritim mereka dan mengelola sumber daya laut mereka sesuai dengan
prinsip yang disepakati oleh hukum internasional.
Bab terakhir
merangkum temuan analisis kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh penulis.
Mengingat meningkatnya tekanan nasionalisme teritorial dan kondisi geopolitik
yang tidak stabil di masa pasca Perang Dingin dan era pasca 9-11, penahanan
sengketa pulau ini memerlukan diplomasi yang terampil dan upaya yang tak kenal
lelah dari para pemimpin politik. Strategi terbaik untuk menghindari suatu perilaku
yang berpotensi memecah-belah adalah melalui lebih banyak terlibat satu sama
lain dengan memfasilitasi terciptanya interdependensi ekonomi dan maritim yang
lebih besar. Penulis menyimpulkan dengan mencatat bahwa jalan menuju integrasi
ekonomi dan maritim yang lebih dalam dan lebih luas mungkin merupakan jalan
yang berliku, namun upaya yang sedang berkembang untuk membentuk perjanjian
regional dapat membantu melancarkan hal tersebut.
Bagi mahasiswa
pemula—seperti saya—mungkin akan mengalami kesulitan dalam menikmati buku ini
karena buku ini memaparkan teknik, metode, dan desain penelitian secara terperinci.
Meskipun saya memahami bahwa melalui hal tersebut penulis berusaha menjelaskan
pentingnya suatu pendekatan yang komprehensif dalam memetakan sengketa
teritorial di Asia Timur, penjelasan mengenai rancangan penelitian dirasa
terlalu bertele-tele, sehingga sebagian pembaca kemungkinan akan merasa bosan.
Selain itu, hal ini membuat buku ini menjadi terlalu kaku, sekalipun bahasa
yang digunakan cukup sederhana.
Meskipun begitu,
tidak diragukan lagi, saya merekomendasikan buku ini bagi pembaca yang
membutuhkan bacaan yang lebih komprehensif mengenai sengketa teritorial di Asia
Timur, khususnya sengketa Dokdo, sengketa Senkaku, serta sengketa Paracel dan
Spratly. Saya yakin tulisan Min Gyo Koo ini dapat menantang sekaligus
menginspirasi penstudi lainnya untuk melakukan lebih banyak penelitian sebagai
tindak lanjut
atas tema yang dipaparkan di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar