Rabu, 31 Januari 2018

Book Review


ISLAND DISPUTES AND MARITIME REGIME BUILDING IN EAST ASIA: BETWEEN A ROCK AND A HARD PLACE, oleh Min Gyo Koo. London dan New York: Springer Dordrecht Heidelberg, 2010. 201 hlm. E-ISBN: 978-0-387-89670-0

Diulas oleh Astriana Solihat, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung (astriana15001@mail.unpad.ac.id)





Wilayah, terutama yang kaya akan sumber daya alam, merupakan penyebab utama terjadinya konflik antar negara. John Vasquez menyebutkan bahwa sengketa teritorial memiliki probabilitas yang lebih besar menuju konflik militer dan perang daripada jenis sengketa lainnya. Selain itu, banyak sengketa teritorial yang kemudian berujung pada timbulnya pertanyaan perihal identitas nasional. Salah satu wilayah yang seringkali menjadi sumber sengketa adalah Asia Timur. Asia Timur bisa dibilang merupakan rumah bagi banyak sengketa teritorial yang paling menjengkelkan di dunia. Diantara sengketa lainnya, sengketa teritorial yang paling menonjol di Asia Timur adalah sengketa mengenai wilayah kepulauan di Laut Timur / Laut Jepang terhadap sekelompok kecil pulau yang dikenal sebagai Dokdo di Korea dan sebagai Takeshima di Jepang (selanjutnya disebut sebagai "Sengketa Dokdo"), sengketa di Laut Cina Timur terhadap sekelompok lapisan tanah yang dikenal sebagai Senkaku Retto di Jepang dan Diaoyutai di Cina (selanjutnya disebut sebagai "Sengketa Senkaku"), dan sengketa di Laut Cina Selatan terhadap kepulauan Paracel dan Spratly. Dalam buku ini, Min Gyo Koo, seorang profesor dari Universitas Nasional Seoul, menyajikan suatu analisis komprehensif mengenai ketiga sengketa tersebut dengan mengelaborasi prinsip-prinsip dasar pembangunan rezim maritim di Asia Timur.
ISLAND DISPUTES AND MARITIME REGIME BUILDING IN EAST ASIA: BETWEEN A ROCK AND A HARD PLACE terdiri dari delapan bab yang masing-masing memiliki tujuan yang jelas. Bab pertama merupakan pendahuluan yang mengantarkan pembaca pada gambaran mengenai apa itu sengketa teritorial, bagaimana ciri khusus yang membedakan sengketa tersebut dengan sengketa lainnya, bagaimana karakteristik sengketa teritorial yang terjadi di Asia Timur, dan bagaimana signifikansi pengaruh sengketa teritorial terhadap Asia Timur sebagai suatu region, dilihat dari berbagai perspektif utama dalam Hubungan Internasional. Bab ini juga menunjukkan bagaimana studi yang telah dilakukan selama ini dalam mempelajari sengketa teritorial di Asia Timur belum mampu menyajikan pendekatan yang cukup komprehensif serta belum mampu menggunakan perspektif komparatif yang lebih luas. Strategi penelitian yang digunakan oleh penulis dalam buku ini menggunakan perspektif “territorial bargaining game” sebagai pedoman bagi kerangka konseptual dan menggunakan pendekatan baik secara kuantitatif dan kualitatif, dengan variabel dependen berupa intensitas konflik.
Bab dua memaparkan komponen penjelas dari territorial bargaining game secara lebih rinci. Pendekatan permainan ini dimulai dengan mengidentifikasi dorongan-dorongan awal bagi perubahan teritorial dari status quo teritorial yang berlaku. Dorongan-dorongan awal mempengaruhi penyediaan jenis barang tertentu, mulai dari barang-barang publik hingga privat. Entitas teritorial yang kompetitif merespon terhadap dorongan-dorongan awal tersebut dan perubahan berikutnya dalam penyediaan barang, dalam berbagai cara berdasarkan situasi tawar masing-masing, yang teridiri dari (1) interdependensi kompleks perekonomian mereka; (2) postur geopolitik; (3) dinamika kekuasaan dalam negeri; dan (4) konteks kelembagaan di tingkat regional dan global. Pendekatan territorial bargaining game dapat menangkap sifat ganda dari kontinuitas dan saling menahan diri dalam sengketa kepulauan di Asia Timur dengan cara yang sistematis.
Bab tiga membahas mengenai ketiga sengketa kepulauan dengan menggunakan teknik regresi yang dirancang untuk menilai akurasi empiris dan generalisasi komponen dari territorial bargaining game. Penulis menyajikan dua variabel dependen yang saling terkait erat. Intensitas sengketa adalah variabel dengan skala lima poin, variabel dependen mutlak yang mengukur tingkat tertinggi dari permusuhan yang dicapai dalam angka yang disetuji, yaitu dua tahun. Inisiasi sengketa adalah variabel dependen dikotomi yang menentukan terjadi atau tidaknya sengketa. Penulis menguji intensitas dan inisiasi hipotesis menggunakan teknik OLS dan regresi logistik biner secara berurutan. Model regresi OLS menguji di bawah kondisi apa negara memilih untuk meningkatkan sengketa teritorial. Model regresi logistik biner menguji di bawah kondisi apa negara cenderung untuk memulai sengketa teritorial. Setelah menjelaskan hipotesis dan langkah-langkah operasional, penulis kemudian mempresentasikan hasil empiris dari analisis regresi. Temuan pada bab ini mengisi kesenjangan yang signifikan dalam studi empiris mengenai sengketa kepulauan di Asia Timur.
Bab empat menganalisis sengketa Kepulauan Dokdo antara Korea Selatan dan Jepang. Bukti yang diberikan dalam bab ini menunjukkan bahwa transisi antara, dan kesimpulan dari, tahap sengketa yang berbeda berhubungan erat dengan komponen kunci dari territorial bargaining game, khususnya saling ketergantungan ekonomi yang kompleks antara Korea Selatan dan Jepang. Ditambah dengan permusuhan sejarah yang belum terselesaikan, kompetisi yang semakin meningkat perihal sumber daya alam, tekanan dari kelompok-kelompok ultranasionalis, dan benturan persaingan nasionalisme, telah menyediakan suatu lahan subur untuk inisiasi dan eskalasi sengketa Dokdo. Namun seiring dengan tuntutan utama politik aliansi antara Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang, prioritas tinggi yang diberikan kepada hubungan ekonomi yang stabil telah memotivasi baik Korea Selatan maupun Jepang untuk berhenti mendorong pertikaian politik yang menentukan dan final atas pulau-pulau yang disengketakan.
Bab lima membahas pola yang terjadi secara berulang pada sengketa Senkaku antara Jepang dan Cina. Pertama, Cina sebagai penantang teritorial telah menggunakan sengketa untuk memobilisasi nasionalisme dengan meniupkan dan memperbesar sentimen anti-Jepang. Sementara bagi Jepang, mendorong isu pulau di luar batas tertentu telah lama menjadi sesuatu yang tabu dalam politik, namun kelompok ultranasionalis telah mendikte waktu, metode, dan intensitas klaim tersebut sehingga klaim atas pulau Senkaku tidak sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah Jepang. Seperti dalam kasus sengketa Dokdo, bukti yang disajikan dalam bab ini menunjukkan bahwa persaingan nasionalisme berpotensi mampu membuat sengketa Senkaku di luar kendali, terutama jika biaya dan manfaat dari interdependensi ekonomi tidak merata antara dua saingan regional tersebut. Dengan mengorbankan identitas nasionalis mereka, bagaimanapun, baik elit politik Jepang maupun Cina telah berulang kali memilih untuk menahan klaim teritorial mereka karena takut bahwa ketegangan yang berlebihan akan merusak hubungan ekonomi mereka yang saling menguntungkan.
Bab enam menyelidiki sengketa kepulauan Paracel dan Spratly antara Cina dan Vietnam secara berurutan. Sengketa ini telah berlangsung dalam tiga putaran bentrokan kekerasan sejak pertama kali terjadi pada awal tahun 1970-an. Di antara faktor-faktor lainnya, perubahan lingkungan yang strategis di Indocina telah menjadi faktor yang memiliki dampak paling signifikan terhadap inisiasi dan eskalasi sengketa Paracel dan Spratly. Sepanjang periode Perang Dingin, hubungan Sino-Vietnam juga tidak menghalangi kekuatan ekonomi, yang mana hal ini bertentangan dengan kasus hubungan Korea Selatan-Jepang dan Sino-Jepang. Dari perspektif liberal mengenai perdamaian, tidak mengherankan bahwa sengketa Paracel dan Spratly menjadi salah satu sengketa pulau paling kejam di Asia Timur. Namun pada periode pasca Perang Dingin, hubungan Sino-Vietnam telah mengalami peningkatan yang stabil, meskipun terus dijiwai dengan rasa saling curiga. Proses pemulihan hubungan teritorial Sino-Vietnam memuncak pada KTT ASEAN tahun 2002 di mana sepuluh negara-negara anggota ASEAN dan Cina menandatangani Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea, dengan tujuan mencegah konflik dan mempromosikan kerjasama di wilayah tersebut. Bagi sebagian besar pihak, perubahan ini dapat dikaitkan dengan peningkatan hubungan ekonomi yang signifikan antara Cina dan Vietnam dalam beberapa tahun terakhir.
Bab tujuh dimulai dengan pengamatan bahwa tugas untuk mendelimitasi batas-batas nasional, baik di daratan maupun di perairan, seringkali memakan waktu, membutuhkan kemauan politik yang kuat, dan upaya diplomatik yang tak kenal lelah dari semua negara tetangga dengan klaim yang saling bertentangan. Setelah menyelidiki kunci masalah hukum yang menyebabkan terjadinya pergulatan di antara negara-negara Asia Timur, bab ini mengkaji munculnya pilihan untuk resolusi dan pengaturan sengketa batas perairan dengan fokus pada pembentukan suatu rezim maritim regional. Kemudian, bab ini menilai kemungkinan dibentuknya suatu rezim maritim regional, dengan kemampuan negara-negara pesisir untuk mengejar kepentingan maritim mereka dan mengelola sumber daya laut mereka sesuai dengan prinsip yang disepakati oleh hukum internasional.
Bab terakhir merangkum temuan analisis kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh penulis. Mengingat meningkatnya tekanan nasionalisme teritorial dan kondisi geopolitik yang tidak stabil di masa pasca Perang Dingin dan era pasca 9-11, penahanan sengketa pulau ini memerlukan diplomasi yang terampil dan upaya yang tak kenal lelah dari para pemimpin politik. Strategi terbaik untuk menghindari suatu perilaku yang berpotensi memecah-belah adalah melalui lebih banyak terlibat satu sama lain dengan memfasilitasi terciptanya interdependensi ekonomi dan maritim yang lebih besar. Penulis menyimpulkan dengan mencatat bahwa jalan menuju integrasi ekonomi dan maritim yang lebih dalam dan lebih luas mungkin merupakan jalan yang berliku, namun upaya yang sedang berkembang untuk membentuk perjanjian regional dapat membantu melancarkan hal tersebut.
Bagi mahasiswa pemula—seperti saya—mungkin akan mengalami kesulitan dalam menikmati buku ini karena buku ini memaparkan teknik, metode, dan desain penelitian secara terperinci. Meskipun saya memahami bahwa melalui hal tersebut penulis berusaha menjelaskan pentingnya suatu pendekatan yang komprehensif dalam memetakan sengketa teritorial di Asia Timur, penjelasan mengenai rancangan penelitian dirasa terlalu bertele-tele, sehingga sebagian pembaca kemungkinan akan merasa bosan. Selain itu, hal ini membuat buku ini menjadi terlalu kaku, sekalipun bahasa yang digunakan cukup sederhana.
Meskipun begitu, tidak diragukan lagi, saya merekomendasikan buku ini bagi pembaca yang membutuhkan bacaan yang lebih komprehensif mengenai sengketa teritorial di Asia Timur, khususnya sengketa Dokdo, sengketa Senkaku, serta sengketa Paracel dan Spratly. Saya yakin tulisan Min Gyo Koo ini dapat menantang sekaligus menginspirasi penstudi lainnya untuk melakukan lebih banyak penelitian sebagai tindak lanjut atas tema yang dipaparkan di dalamnya. 

Kamis, 18 Januari 2018

Dilema Keamanan Menurut Shiping Tang: Sebuah Analisis Konseptual

Dilema keamanan merupakan salah satu teori yang paling terkenal dalam menjelaskan hubungan internasional. Gagasan mengenai dilema keamanan sebenarnya telah muncul sejak abad ke-5 SM dalam tulisan-tulisan Thucydides. Namun istilah ‘Dilema Keamanan’ baru memasuki leksikon akademik setelah John Herz mempopulerkannya melalui tulisannya yang berjudul ‘Idealist Internationalism and the Security Dilemma’ (1950) yang menjelaskan dilema keamanan sebagai “sebuah gagasan struktural bahwa kemandirian suatu negara dalam mengurus keamanannya sendiri, entah apapun niatnya, cenderung memicu ketidaknyamanan bagi negara lain karena setiap negara menganggap tindakan yang diambilnya bersifat defensif sementara tindakan yang diambil oleh negara lain bersifat mengancam” (Herz, 1950). Konsep ini kemudian dikembangkan oleh para ilmuwan realis seperti Robert Jervis, Ken Booth, dan Nick Wheeler; sehingga menjadi salah satu konsep utama dalam realisme yang menjelaskan bagaimana praktek power berlangsung.
            Sebuah penjelasan yang lebih komprehensif mengenai Dilema Keamanan dikemukakan oleh Shiping Tang dalam tulisannya yang berjudul “The Security Dilemma: A Conceptual Analysis” (2009). Melalui tulisan tersebut, Tang berusaha menyajikan definisi yang lebih tajam dari Dilema Keamanan dengan mengelaborasi Teori Dilema Keamanan dari Herbert Butterfield, John Herz, dan Robert Jervis. Hasil elaborasi dari ketiga teori ini membawa Tang pada definisi bahwa dilema keamanan memiliki setidaknya delapan aspek utama berikut (Tang, 2009):
1.      Sumber utama dilema keamanan adalah sifat anarkis dari politik internasional.
2.      Di bawah kondisi anarki, negara tidak dapat memastikan tujuan dan masa depan masing-masing. Akibatnya, negara cenderung merasa saling ketakutan.
3.      Dilema keamanan terjadi secara tidak disengaja, antara dua negara realis defensif (yaitu negara-negara yang hanya menginginkan keamanan tanpa bermaksud untuk mengancam pihak lain).
4.      Karena tidak adanya kepastian niat dan ketakutan masing-masing negara, negara-negara memutuskan untuk mengakumulasi kekuatan dan kapabilitasnya sebagai alat pertahanan, yang mana kapabilitas ini mengandung beberapa kapabilitas ofensif.
5.      Dinamika dilema keamanan bersifat menguatkan negara itu sendiri dan sering menyebabkan spiral yang buruk dan tidak disengaja seperti memburuknya hubungan antar kedua negara dan perlombaan senjata.
6.      Dinamika dilema keamanan cenderung membuat beberapa langkah untuk menurunkan keamanan negara itu sendiri—misalnya mengumpulkan kapabilitas ofensif yang tidak diperlukan—sehingga menyebabkan negara tersebut memperoleh lebih banyak kekuatan namun keamanannya berkurang.
7.      Lingkaran setan yang berasal dari dilema keamanan dapat menyebabkan hasil yang tragism seperti perang yang tidak diperlukan atau perang yang tidak dapat dihindari.
8.      Tingkat keparahan dilema keamanan dapat diatur oleh faktor material dan faktor psikologis.

Diantara kedelapan aspek tersebut, menurut Tang, terdapat tiga aspek yang paling penting yaitu: anarki (yang menyebabkan negara mengalami ketidakpastian, ketakutan, dan kebutuhan untuk menolong dirinya sendiri untuk pertahanan atau keamanannya), kurangnya niat jahat di antara kedua negara, dan beberapa akumulasi kekuatan (termasuk kapabilitas ofensif). Tiga aspek ini, menurut Tang, adalah aspek yang membuat suatu situasi menjadi dilema keamanan yang sesungguhnya. Sementara lima aspek lainnya tidak dapat membuat suatu situasi menjadi dilema keamanan yang nyata, betapapun kuat pengaruhnya, suatu dilema keamanan tetap tidak akan terjadi jika ketiga aspek tadi tidak berjalan. Dengan adanya definisi ini, hubungan kausal antara anarki, dilema keamanan, hingga terjadinya perang dapat dijabarkan secara lebih jelas yaitu sebagai berikut: anarki menghasilkan ketidakpastian, ketidakpastian menyebabkan ketakutan, ketakutan menyebabkan persaingan kekuatan, persaingan kekuatan mengaktifkan dilema keamanan yang sebelumnya tidak aktif, dan pengaktifan dilema keamanan ini menyebabkan perang melalui spiral yang ditunjukkan oleh gambar berikut (Tang, 2009).

Gambar 1. Hubungan Kausal dari Anarki hingga Dilema Keamanan dan Perang
Sumber: (Tang, 2009)

 Sumber:
Herz, J. H. (1950). Idealist Internationalism and the Security Dilemma. World Politics, 157-180.
Tang, S. (2009). The Security Dilemma: A Conceptual Analysis. Security Studies, 587-623.

Prefiks Para dalam Paradiplomasi



Menurut Manuel Duran dalam tulisannya yang berjudul ‘An Archeology of Mediterranean Diplomacy: the Evidence of Paradiplomacy’, konsep ‘paradiplomasi’ berasal dari bahasa Yunani ‘parapresbeia’ yang menunjukkan aktivitas diplomasi yang dilakukan oleh Demosthenes dan Aeschines sebagai delegasi Athena yang dikirim ke Makedonia untuk menegosiasikan perdamaian pada tahun 346 SM (Duran dalam Cornago, 2013).
Sementara itu istilah paradiplomasi baru diperkenalkan pada tahun 1961 melalui tulisan Rohan Butler yang mendefinisikan paradiplomasi sebagai tingkat tertinggi dari diplomasi pribadi dan paralel yang melengkapi atau bersaing dengan kebijakan luar negeri reguler (Butler dalam Kuznetsov, 2015). Istilah ini muncul berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh Butler terhadap praktek-praktek negosiasi tidak resmi atau negosiasi rahasia yang terjadi dibalik diplomasi resmi. Praktek ini, menurut Butler, banyak berlangsung di Eropa abad kedelapan belas sampai abad ke-20 (Kuznetsov, 2015).
Namun istilah paradiplomasi baru mendapatkan kepopulerannya dalam tulisan Ivo Duchacek tahun 1986, menggantikan istilah mikrodiplomasi yang marak digunakan pada tahun 1970an sebagai istilah yang menunjukkan keterlibatan aktor subnasional dalam hubungan internasional. Istilah paradiplomasi ini diusulkan oleh Panayotis Saldatos dan pertama kali digunakan dalam tulisan Duchacek untuk menjelaskan aktivitas diplomasi sebagai aktivitas paralel yang melengkapi aktivitas pemerintah pusat dalam diplomasi (Duchacek, 1991).
Pada tahun 1987, James Der Derian membawa paradigma modern terhadap diplomasi dan menyimpulkan bahwa telah terjadi transformasi signifikan dari diplomasi klasik menuju fenomena diplomasi baru. Untuk menamakan fenomena ini, ia menambahkan prefiks ‘para’ ke dalam diplomasi yang menurutnya bermakna ‘pararel’ atau ‘disamping’. Namun berbeda dengan Duchacek, Der Derian melihat bahwa pelaku utama paradiplomasi bukan hanya non-central government. Ia memperluas aktor paradiplomasi dengan menambahkan Perusahaan Transnasional (TNC), Organisasi Serikat Pekerja Internasional, industri media massa, dll (Der Derian dalam Gonchar, 2017).


Sumber:

Aldecoa, F., & Keating, M. (2013). Paradiplomacy in Action: The Foreign Relations of Subnational Governments. London: Frank Cass Publishers.
Cornago, N. (2013). (Para)Diplomatic Cultures: Old and New. International Workshop Alternative Cultures of Diplomacy, (hal. 1-34). Netherland: : https://www.researchgate.net/publication/272885542.
Duchacek, I. (1991). Perforated Sovereignties: towards a typology of new actors in International relations. Dalam H. J. Michelmann, & P. Soldatos, Federalism and international relations: The role of subnational units (hal. 1-33). Oxford: Oxford University Press.
Gonchar, M. (2017). The phenomenon of “paradiplomacy”. Moscow: https://revolution.allbest.ru/international/00799531_0.html.
Kuznetsov, A. S. (2015). Theory and Practice of Paradiplomacy. New York : Routledge.




Genealogi Teori Hubungan Internasional Menurut Steve Smith: 10 Self-Image

                    1.   Teori Internasional vs. Teori Politik Menurut Steve Smith, penjelasan yang paling baik mengenai teori internasio...